Bab 36. Berdiaman

16.2K 525 7
                                    

Di dalam mobil kami kembali terdiam, lebih ke aku yang mendiamkannya,. Jangankan berbicara, menoleh kearahnya saja tidak. Aku masih marah padanya. Aku tak ingin sepatah kata yang keluar dari mulut ku nanti nya akan menyakiti.

Begitu tiba beliau turun lebih dulu membukakan pintu untukku, aku turun tanpa bersuara dan melenggang masuk kedalam rumah, langsung ku tuju kamarku, merebahkan diri ke atas tempat tidur.
Meski pak Vand telah meminta maaf dan berjanji tak akan lagi bertemu mantan istrinya, tapi itu belum membuatku tenang.

Tok! Tok! Tok!

Aku terdiam di atas tempat tidur tak menanggapi ketukan itu apa lagi membukanya, aku hanya ingin sendiri saja untuk saat ini. Bahkan ku dengar daun pintu di buka, aku tetap diam berbaring dengan mata tak terpejam.

"Riana,." panggilnya

"Hum,"

Beliau masuk duduk di sampingku, mengusap rambutku lembut. Biasanya jika diperlakukan seperti itu aku bagai cacing kepanasan ingin beliau terus memanjakan ku, tapi kali ini tidak. Aku benar-benar tak ingin di ganggu.

"Tolong tinggalkan saya sendiri" pintaku, untuk pertama kalinya aku berani mengusirnya di mana aku selalu membutuhkannya.

"Saya akan tetap di sini"

Ia ikut berbaring di belakang ku, dan mendekap ku. Seketika air mata mulai berbaris di pelupuk mata.

"Saya ingin sendiri pak"

Ia tak perduli, malah makin mengeratkan pelukannya.

"Saya harus bagaimana biar kamu memaafkan saya"

"Berhenti bertemu apa lagi berhubungan dengan mantan istri pak Vand"

"Iya" jawabnya segera

Untuk pertama kalinya kami merasakan tidur siang bersama untuk pertama kalinya setelah menikah.

Bangun-bangunku tak mendapatinya di sampingku, aku segera turun dari tempat tidur mencari ke kamar beliau tapi tak ada, aku mencarinya ke semua ruangan juga tak ada, aku kembali paranoid beliau pergi menemui mantan istrinya. Ku putuskan menghubunginya.

Tut..
Tut..
Tut..

Entah di mana beliau, dan apa yang ia lakukan hingga tak mengangkat panggilan dariku. Ku putuskan mengirim pesan.

"Pak Vand di mana?"

"Kok pak Vand tidak bilang kalau keluar"

"Pak Vand pergi menemui mbak Amelia lagi!?"

"Balas dong pak! Pak Vand di mana!?"

"Kalau pak Vand tidak pulang dalam 15 menit saya akan menyusul"

Sederet pesanku yang memaksa tapi aku tak perduli selama itu untuk kebaikan pernikahan kami. Kembali kekesalan berkecamuk di kepalaku, lagi-lagi beliau pergi tanpa berbicara lebih dulu padaku. Ku putuskan menunggunya di ruang tamu.

Mendengar suara kendaraan milik nya memasuki halaman rumah, ku tinggalkan tempat ku duduk keluar menemuinya.

"Pak Vand dari mana?" tanyaku begitu beliau turun dari mobil.

"Saya ada janji dengan teman-teman dosen!" jawabnya tegas terdengar membentak. "Saya juga mampir ke rumah mamah menjenguknya! Mamah lagi tidak enak badan! Saya tidak menemui Emilia puas!"

Seharusnya aku yang marah mengapa justru beliau yang bersikap demikian. Akupun tersulut emosi tak ingin percaya begitu saja.

"Mana buktinya!?" aku tak kalah tegas.

"Apa saya harus memiliki bukti setiap kali keluar rumah!?"

"Saya hanya ingin memastikan psk Vand tidak berbohong!"

"Saya tidak berbohong Riana!!"

Aku makin kesal beliau makin meninggikan suaranya hanya karena aku meminta sebuah bukti kecil.

"Jangan membentakku pak!"

"Dan jangan memaksa saya!"

Ia melenggang masuk kedalam rumah meninggalkan ku di luar masih dengan perasaanku yang tak karuan, luar biasa ku rasakan kemarahan merajalela di kepala dan hatiku.

Dan di waktu sarapan aku hanya menyiapkan sarapan dan secangkir teh kesukaannya, ku tunggu beliau bangun tanpa ku bangunkan.

Sepintas mata kami bertemu saat beliau berjalan ke meja makan dan aku telah duduk di kursi menunggu nya sedari tadi. Di antara kami tak ada yang memulai membuka suara. Karena aku merasa tidak salah tentu aku tak akan memulainya. Hingga sarapan kami hanya di hiasi bunyi decitan sendok dan piring yang mengisi keheningan.

Selesai sarapan beliau membawa wadah yang sehabis di gunakannya dan mencucinya lalu kembali ke kamarnya mengambil tas nya dan berlalu keluar dari rumah tanpa pamit padaku ataupun mengajakku.

Aku pun bersiap-siap berangkat ke kampus sembari terus mencoba menenangkan diri menahan marah. Saat hendak meninggalkan pintu yang telah ku kunci, aku terdiam melihat mobil nya masih berada di halaman rumah yang mana beliau pun berada didalam nya.

"Apa dia menungguku? Kalau memang iya kenapa tadi dia tidak mengajakku?" gumamku. Ku susul ke mobilnya, aku merasa beliau menungguku tapi aku juga ragu untuk membuka pintu, takut jikalau beliau tak bermaksud demikian.

Begitu tiba di samping mobilnya beliau membukakan pintu untukku dari dalam, tak ingin berpikir lama aku naik bersama-sama berangkat ke kampus. Tapi kembali keheningan terjadi, hingga tiba pun kami tak pernah berbicara, aku melenggang ke kelas dan beliau ke kantor.

Bahkan saat mengisi kelasnya beberapa kali ku lirik dari kursiku beliau tak pernah sekejap pun melihat kearah ku.

"Apa dia benar-benar marah karena sikapku?" aku bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Tiba semua pelajar berhamburan keluar, dengan langkah ragu aku mendekat kemejanya dimana beliau sedang membereskan kertas-kertas dan laptopnya, ia mengangkat pandangan menatapku dengan ekspresi datar lalu kembali menundukkan pandangan merapihkan kertas-kertas milik nya.

"Pak..

Beliau justru mengambil langkah melewati ku, tak menghiraukan ku.

Istri Tersembunyi Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang