18. Hidup Bersama

7.2K 980 58
                                    

Seperti biasa, Shana kembali terbangun malam ini. Kebiasaan yang cukup membuatnya lelah. Kebiasaan yang mengingatkannya akan masa remajanya yang kelam. Kebiasaan yang mengingatkannya akan rasa kehilangan yang begitu menyesakkan. Yaitu ketika ibunya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

"Mama," gumam Shana memeluk gulingnya erat.

Jika ada Erina, mungkin kakaknya yang akan ia peluk. Namun saat ini, di rumah ini, Shana tidak memiliki siapa pun.

"Ma," gumam Shana lagi berusaha untuk menutup mata.

Biasanya Shana bisa melewati malamnya dengan baik. Namun entah kenapa kali ini berbeda. Mungkin karena banyaknya masalah yang ia hadapi dan malam ini adalah puncaknya. Lalu yang ada air mata mulai jatuh dengan sukarela.

Berusaha kembali tidur hanya akan menyiksa diri. Shana harus sibuk dengan sesuatu agar pikirannya teralihkan. Akhirnya dia memutuskan untuk bangkit. Ternyata jam masih menunjukkan pukul satu dini hari.

"Oke, Shana. Lo nggak boleh cengeng," ucapnya memberi semangat pada diri sendiri.

Laptop menjadi pilihan Shana untuk melarikan diri dari kenyataan. Setelah menyalakan lampu kamar, dia mulai duduk dengan nyaman. Matanya terpejam dengan tarikan napas pelan. Setelah itu matanya kembali terbuka dengan perasaan yang jauh lebih tenang.

Baiklah, dia akan menulis malam ini.

Awalnya, Shana menulis hanya ingin mencurahkan isi hatinya. Namun seiring berjalannya waktu kebiasaannya itu memberikan berkah tersendiri untuknya. Beruntung Shana memiliki Erina yang luar biasa. Meskipun galak, tetapi gadis itu selalu mendukung apa yang ia lakukan.

Tanpa sadar satu jam telah berlalu. Punggung Shana mulai lelah. Dia melepas kacamatanya dan mengusap matanya yang terasa panas. Reflek, kepalanya melihat ke sekitar kamarnya. Shana tidak menemukan apa pun di sana. Dia butuh asupan untuk menemaninya terjaga malam ini.

Setelah memastikan jam, akhirnya Shana memutuskan untuk turun ke dapur. Sambil membawa laptopnya, dia berjalan pelan keluar kamar. Matanya langsung tertuju pada pintu kamar Ndaru. Sejak kembali dari Bali, dia belum melihat pria itu.

Entah ke mana perginya, Shana tidak tahu. Dia juga tidak peduli.

Keadaan rumah benar-benar gelap. Hanya dibantu lampu remang-remang di beberapa sudut ruangan .  Satu-satunya cahaya yang membantunya berjalan agar tak tersandung. Shana memang belum mengelilingi rumah ini, tetapi dapur adalah salah satu tempat yang sudah ia ketahui.

Shana meletakkan laptopnya di meja pantri dan menuju ke lemari pendingin. Seperti yang sudah ia tebak, Ndaru menyimpan banyak makanan di sana. Pilihan Shana jatuh pada es krim vanilla yang terlihat menggugah selera.

Anggap saja Shana tidak sopan karena mengambil makanan yang bukan miliknya. Namun dia masih mengingat jelas kontrak yang Ndaru buat. Pria itu akan menafkahinya. Artinya segala kebutuhannya akan dipenuhi oleh Ndaru. Kalau pun pria itu marah hanya karena es krim yang ia makan, maka Shana akan menggantinya besok.

"Kamu ngapain di sini?"

Tubuh Shana menegang mendengar suara itu. Dia berbalik dan melihat pria yang menegurnya. Ndaru, pria itu  berada di belakangnya. Dalam hati Shana menggerutu. Dari banyaknya jam, kenapa dia harus bertemu dengan Ndaru malam ini? Di saat dia yakin jika pria itu mungkin sudah terlelap.

"Pak Ndaru ngapain di sini?" tanya Shana menyembunyikan es krimnya di belakang tubuh.

Ndaru tidak menjawab. Dia menggeser tubuh Shana dan mengambil satu botol air mineral dingin dari dalam kulkas.

"Bapak baru pulang?" tanya Shana saat menyadari penampilan Ndaru. Kemeja kerja masih melekat di tubuhnya.

Ndaru yang tengah menegak air mineralnya hanya mengangguk samar. Matanya dengan teliti melihat penampilan Shana dari atas hingga ke bawah. "Kamu nggak kedinginan?" tanyanya setelah selesai minum.

Duda Incaran ShanaWhere stories live. Discover now