Ways To Protect Him: Danger

696 70 22
                                    

Still a long chapter, tho. Here we go!

Langkah kaki Vania menggema di koridor sekolah yang sudah mulai kosong itu. Gadis itu melirik ke ponselnya, jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Namun seseorang yang ditunggu gadis itu belum juga datang. Vania mendecak kesal, ia kembali berjalan dengan sesekali menoleh ke kanan dan kirinya.

"Vania."

Vania berhenti dan sontak berbalik. Di sana sudah berdiri seorang pemuda yang sedari tadi di tunggunya.

"Kenapa lama banget sih?!" marah Vania padanya, pemuda tertawa kecil saat kening gadis itu mengerut serta bibir mungilnya yang mengerucut. Manis.

"Sorry, gue tadi ada latihan basket bentar. Mau pulang sekarang?" tanyanya, Vania menggeleng tegas.

"Gue mau ngomongin hal serius sama lo." Kata Vania dengan sorot mata yang sedikit berbeda, pemuda itu tiba-tiba merasa gugup. Entah karena alasan apa, dia merasa sesuatu yang tidak dia harapkan akan terjadi.

Mereka berjalan beriringan menuju tempat dimana mobil pemuda itu terparkir dalam diam. Bahkan selama perjalanan pun hanya keheningan yang mengisi mobil itu. Ini aneh, gadis itu memang bukan orang yang cerewet dan banyak bicara. Namun biasanyapasti ada satu atau dua hal yang dia ceritakan padanya. Pemuda itu menghela nafas. Dia tidak suka keheningan seperti ini. Keheningan ini terdengar lebih berisik daripada suara apapun baginya.

Tak lama mereka sudah sampai di salah satu coffee shop favorit Vania, Starbucks. Mereka memesan pesanan yang sama dan setelah menunggu 10 menitan, Vania mengambil kedua iced Americanonya setelah namanya di panggil oleh sang barista.

Vania menyesap iced Americanonya lalu kembali memfokuskan matanya pada seseorang yang tengah duduk di hadapannya.

"Gue nggak suka terlalu banyak basa-basi jadi gue akan langsung ke intinya aja ya."

Pemuda itu mengangguk, ia meletakkan iced Americanonya sejenak. Memusatkan seluruh perhatiannya pada Vania.

"Apa bener, lo sama temen-temen lo mukulin Varend kemaren?"

Manik mata Vania menelaah setiap gerakan dari pemuda di depannya ini dengan seksama. Dia benar-benar menuntut sebuah jawaban pada pemuda ini dan dia akan mendapatkannya sekarang atau tidak sama sekali.

"Julian, gue tanya sama lo sekali lagi. Apa bener, lo mukulin Varend?"

Julian terlihat jengah, ia menghela nafasnya dan mengacak-acak belakang kepalanya kesal.

"Jadi lo jauh-jauh ngajakin gue kemari Cuma mau bahas itu aja?"

Vania mengernyit tidak suka. "Apa maksud lo dengan 'Cuma'? Julian, kekerasan itu bukan masalah sepele."

Julian menggelengkan kepalanya lalu menunduk, kembali meminum iced Americanonya. Tanpa mempedulikan Vania yang sedang menatapnya dengan pandangan menuntut.

"Gue anggep sikap diam lo ini sebagai jawaban 'iya'." Vania masih belum menyerah untuk mendesak Julian berkata yang sejujurnya padanya. Julian tau Vania sedang marah padanya, gadis itu memang sama sekali tidak menyukai kekerasan. Dalam bentuk apapun.

"Gue nggak mukulin dia." Ucap Julian tidak terima, Vania menaikkan satu alisnya. "Secara teknis gue nggak mukulin dia, gue nggak ikutan, temen-temn gue yang ngelakuin itu. Gue Cuma liat."

"Cuma liat lo bilang? Kenapa nggak lo cegah mereka buat mukulin Varend?" amarah Vania kini sudah berada di ambang batasnya. Ia tidak bisa mempercayai pendengarannya, bagaimana bisa Julian hanya diam saa-saat seseorang sedang di pukuli tepat di depan matanya?

VARENDZKA | K.T.HWhere stories live. Discover now