Brother

658 64 12
                                    

Diliatin dua cowok ganteng tuh, udah pencet bintang buat mereka belum?

Rasya menekan kasanya ke luka Justin dengan perlahan. Peralatan P3K tertata rapi di meja ruang tengah kediaman Wiratama. Rasya menggumamkan kata maaf saat Justin menarik diri dan mendesis kesakitan karena Rasya menekan lukanya cukup dalam. Luka di wajah Justin terbilang cukup banyak, tapi Rasya bersyukur dia tidak harus menjahit luka Justin. Justin hanya mendapay lecet di sana-sini, lebam dan sedikit robek di sudut bibir. Rafa menggelengkan kepalanya frustasi melihat pemandangan di depannya sekarang ini. Justin, adiknya, harus pulang dengan keadaan seperti ini. Sialnya ini semua adalah ulah Digo. Orang yang dulunya juga membuat Justin berakhir dengan luka-luka di wajah dan tubuhnya.

Rafa mengepalkan tangannya kuat-kuat, "Ini nggak bisa dibiarin. Digo harus bener-bener dikasih pelajaran! Seenaknya aja dia mukul adek gue kaya gini!"

Rasya menghela nafas, ia menghentikan kegiatan sejenak untuk menoleh pada Rafa yang duduk bersebrangan dengannya. "Raf, lo tenang dulu. Gue tau lo marah, tapi jangan sampai lo gegabah tentang masalah ini."

Pemuda berkulit pucat itu menggeleng, dia tidak bisa tenang. Siapa yang bisa tenang kalau seorang psikopat mencoba mencelakai adiknya sekali lagi? Ya, di mata Rafa, Digo tidak lebih dari seorang psikopat berwajah menjengkelkan. "Digo itu dari SMP sukanya emang bikin ulah, Sya! Dia itu berbahaya!" Rafa menolehkan kepalanya pada Justin. "Sekarang, mau apalagi dia sama lo, Just? Kalian 'kan udah nggak satu sekolah, apalagi yang dia incer dari lo?"

Justin menggigit bagian dalam pipinya,"Ini bukan soal gue, bang." Mata laki-laki paling muda diantara mereka itu menatap tajam pada ponselnya yang ada di meja. "Tapi, soal bang Varend."

Jantung Rasya seolah berhenti melakukan fungsinya begitu Justin mengatakan nama adiknya. Tangannya yang kini memegang kotak P3K menggenggam dengan kuat. "Ada apa sama, Varend?" nada kekhawatiran jelas terdengar di pertanyaan Rasya barusan. Justin menatap sedih ke Rasya.

"Digo masih nggak terima soal Bima Sakti yang ngalahin Pekerti Luhur."

"Dia masih mempermasalahkan hal itu?" tanya Rasya sedikit kesal. Kenapa masalah seperti itu terus saja diungkit-ungkit? Demi apapun, bahkan kejadian itu sudah sekitar 2 bulan berlalu!

"Masalah itu ngga bisa dianggap sepele, bang. Sekolah kita emang udah bermasalah sejak dulu. Mereka nggak akan terima. Karena sejak jamannya bang Rafa, Pekerti Luhur selalu menang di pertandingan itu." Justin menghela nafasnya dan menatap Rasya serius. "Ini, masalah harga diri."

Rasya memijit ujung hidungnya. Kepalanya berdenyut sakit. "Kenapa setiap masalah yang terjadi di sini selalu aja berkaitan sama Varend?"

Tak lama berselang, suara mobil terdengar. Mereka bisa melihat lampu mobil itu menyorot sampai bagian depan ruang tamu keluarga Wiratama.

Rasya mendongak, menatap Justin dan Rafa bergantian. "Itu Varend, ya?"

Justin menunduk dan mengacak-acak rambutya kesal. "Aish, padahal gue nggak mau sampai bang Varend tau."

Rafa masih menatap ke mobil Honda Civic Varend dengan serius. "Gue yakin Digo juga udah ngehubungin Varend."

"Nggak ada yang bisa lo sembunyiin dari dia. Toh, lo mau jelasin gimana ke Varend soal muka lo yang kaya gini?" kata Rasya sembari menunjuk ke luka Justin yang sudah dia obati.

Mereka semua menoleh ketika Varend memasuki rumah Wiratama dengan sedikit tidak sabaran. Tangannya terkepal dan rahangnya mengeras. Mereka bahkan hampir tidak mengenali Varend. Sorot matanya menggelap, ia geram.

"Sial, jadi bener lo dihajar sama Digo?" Varend menghela nafas kasar kala melihat wajah Justin. Ia menghempaskan dirinya di sebelah Rafa.

"Ralat, anak buahnya Digo."

VARENDZKA | K.T.HWhere stories live. Discover now