Please, Listen

621 57 43
                                    

Stay tune sampai akhir ya! Karena bakal ada visualiasasi Rasya dan Rafa di akhir chapter ini! Jan lupa komen ama pencet bintang!❤

Kaki Rasya melangkah dengan santai masuk ke kediaman Wiratama, masih dengan tas kuliah yang dia sampirkan di bahu kirinya. Rasya memang sengaja setelah kuliah ingin menemui Rafa karena ada hal yang ia ingin bicarakan. Untungnya Rafa sedang tidak ada kelas hari ini, namun ia tetap sibuk mengerjakan tugas kuliahnya seperti biasa. Rasya mendorong pintu kamar Rafa dan menyembulkan kepalanya.

"Raf? Masih ngegambar teknik?" Rasya melangkahkan kaki masuk ke kamar Rafa. Melempar tasnya ke karpet dan merebahkan tubuhnya di atas kasur Rafa. Ia memejamkan matanya sejenak, badannya terasa pegal karena menyetir. Macetnya ibu kota memang sangat memperngaruhi kesehatannya sekarang. Ia merasa seluruh badannya panas dan sakit.

"Nggak, gue ngerjain tugas mekanika fluida dasar." Jawab Rafa, matanya masih fokus dengan tugasnya. Rasya memiringkan tubuhnya ke samping kiri, melihat Rafa masih sibuk dengan dengan buku-buku dan kalkulatornya. Anak itu kalau sudah fokus suka tidak sadar dengan lingkungannya, Rafa bahkan tidak marah ketika ia tiduran di kasurnya dengan sepatu yang belum di lepas.

"Masih lama enggak?" tanya Rasya sambil memainkan ponselnya bosan. Rafa menghela nafas sebentar, kemudian memutar tubuhnya ke belakang dan menyandarkan tangannya di sandaran kursi.

"Lo mau ngapain sih sebenernya ke rumah gue?" Rasya menurunkan ponselnya ketika Rafa menatapnya. Rasya segera bangkit dan duduk menyila menghadap Rafa dengan wajah serius.

"Gue mau curhat, Raf."

Rafa tertawa sekilas, "Curhat? Masalah apaan? Lo digodain junior lo lagi di kampus? Ck, udah gue bilang kan dulu, karungin aja muka lo biar nggak digodain lagi."

"Sial, bukan itu! Gue udah bisa menerima takdir gue sebagai cowok ganteng sekarang. Gue harus terbiasa ngedenger cewek-cewek neriakin nama gue atau ngasih gue hadiah." Kata Rasya dengan penuh percaya diri membuat Rafa mendelik jijik.

"Dih najis. Trus lo mau cerita masalah apaan? Varend?" tebak Rafa, pasalnya Rasya itu hanya akan datang padanya untuk tiga masalah. Pertama adalah masalah akademiknya, kedua masalah cewek dan ketiga tentu saja masalah sang adik.

"Ho'oh."

"Gue udah bilang 'kan? Lo harus ngobrol sama dia."

Rasya menghela nafas, "Itu masalahnya, Raf. Dia tuh kayaknya ngehindar mulu dari gue. Dia selalu aja alesan tiap gue ajakin ngobrol, yang mau ke studio lah, latihan basket lah, mau pergi sama Kelvin lah. Pokoknya ada aja deh alasannya, mau nggak ada alesannya juga di ada-adain sama dia."

Rafa mengangguk-angguk mengerti, dari analisanya memang Varend tipikalnya seperti itu. Dia suka menghindar kalau sedang marah dengan seseorang, padahal Rafa sudah berkali-kali bilang untuk tidak seperti itu. Karena sikap Varend yang terkesan kekanakan itu tidak akan menyelesaikan masalah. Namun ia lupa kalau Varend itu punya kepala sekeras baja.

"Gini aja deh, lo samperin aja dia ke studio. Lo ngomong baik-baik, Varend tuh kalo lo kasarin malah makin ngebangkang. Trus lo kalo mau nasehatin dia jangan sampai terkesan men-judge atau menggurui dia." Rafa membentulkan duduknya menjadi sepenuhnya menghadap ke Rasya dengan pandangan serius. "Gue bilangin sama lo, Varend itu perasa. Dia sensitif kalo lo mulai ngungkit masa lalunya atau nyinggung masalah orang tua kalian. Jadi, lo jangan menyudutkan dia dengan dua hal itu."

Rasya mendecak kesal, "Kadang juga gue nggak sadar, Raf. Kalo gue emosi, gue suka lupa tentang hal detail kaya gitu. Varend sukanya nyautin, 'kan rada kesel juga gue." Jawab Rasya sambil memijit pelipisnya yang berdenyut pusing.

"Varend emang kaya gitu 'kan dari dulu? Nggak mau kalah. Jadi ya lo sabar-sabarin aja ngomong sama dia, yang terpenting itu kehadiran lo setiap kali dia ada masalah. Lo bilang mau nebus kesalahan lo di masa lalu 'kan? Nah gua rasa ini saatnya, jangan sampai lo lengah. Apalagi sekarang ada orang masa lalu Varend, si Julian."

VARENDZKA | K.T.HWhere stories live. Discover now