Big Hit

436 45 25
                                    

"Masuk, gih. Makin dingin di luar."

Varend tersenyum saat Vania mengangguk kecil dan mulai berbalik untuk masuk ke dalam rumahnya. Gadis itu terlihat sangat polos saat menuruti ucapannya, Varend jadi gemas.

Namun baru tiga langkah, gadis itu berbalik. Wajahnya menyiratkan ketidak relaan berpisah dengan Varend, lalu ia berjalan mendekat pada sang kekasih lagi.

"Kenapa, cantik?"

Tangan Varend terulur untuk mengusap lembut rambut Vania sembari menebak-nebak apa yang terjadi pada gadisnya itu. Vania mengambil satu langkah lagi pada Varend, detik berikutnya gadis itu sudah melingkarkan tangannya pada pinggang Varend, lalu sedikit berjinjit untuk menyandarkan dagunya di bahu pemuda tampan itu.

Dengan sabar Varend kembali merengkuh sang gadis dalam dekapan hangatnya. Perlahan sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman, entah apa yang terjadi pada Vania hari ini tapi Varend menyukainya

Ia menyukai cara Vania bermanja padanya, tidak mau lepas darinya dan selalu ingin dekat padanya. Sisi Vania ini sangat jarang ia jumpai, mengingat betapa mandirinya kekasih cantiknya itu. Dan saat ia dihadapkan dengan sisi manis Vania, ia semakin takut jauh dari Vania. Semakin takut kalau gadis itu akan terluka karena dirinya.

Terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, Varend sampai tidak menyadari kalau mata Vania berkaca-kaca. Air matanya siap turun saat ia berkedip. Vania merasakan perasaan yang berlawanan dengan Varend. Kalau pemuda itu merasa bahagia Vania memeluknya, Vania justru memeluk Varend karena khawatir.

Perasaan aneh yang tiba-tiba menyergapnya ketika mereka sampai di depan pintu utama rumahnya. Vania merasa ada sesuatu yang akan terjadi malam ini yang menyangkut soal Varend.

Dan itu bukanlah sesuatu yang baik.

Tangan Vania menggenggam kaos di punggung Varend hingga kusut. Kenapa dia merasa seperti ini?

Ia ingin mengatakan hal yang mengganjal hatinya ini pada Varend. Tapi dia takut. Dia takut kalau benar ada sesuatu yang buruk akan terjadi pada Varend, jadi dia memilih diam dan menyimpannya sendiri.

"Aku mau denger kamu ngucapin mantera itu."

Alis Varend terangkat satu kala mendengar suara serak Vania. Cengkraman Vania di balik punggungnya juga semakin erat. Ia merasa ada yang aneh.

Apa gadis itu sedang menangis?

Tidak mau melebih-lebihkan, Varend menyandarkan dagunya di puncak kepala Vania. Membawa gadis itu lebih erat pada pelukannya sebelum ia memejamkan matanya dan mengucapkan kalimat penenang gadis itu.

"Malaikat timur, malaikat barat-"

"Malaikat timur, malaikat barat -"

Diam-diam, Vania bergumam lirih mengikuti Varend. Wajahnya ia tenggelamkan di ceruk leher Varend sembari menggenggam kalung pemberian si pemuda tampan, berusaha keras mengusir pikiran buruk yang berkeliaran di otaknya.

"Malaikat utara dan selatan-"

"Malaikat utara dan selatan-"

"Aku mohon, lakukan yang terbaik untuk menjaga bidadariku-"

" Aku mohon, lakukan yang terbaik untuk menjaga pangeranku-"

Air mata Vania menetes setelahnya, ia mati-matian menahan isakannya. Sialnya, Varend tetap bisa mendengar isakan kecil gadis itu. Menahan segala rasa ingin tahunya yang bercampur rasa khawatir, pemuda itu mencium puncak kepala Vania lembut.

"Saat aku sedang tidak di sampingnya."

"Saat aku sedang tidak di sampingnya."

***

VARENDZKA | K.T.HWhere stories live. Discover now