Look At Me

538 57 49
                                    

Jangan lupa komen untuk mas-mas ganteng di atas yaaa!❤

Rafa dan Justin kini sedang ada di kamar Justin. Mereka sudah tiga jam bermain PS dan belum juga ada jeda. Ini semua adalah ide Rafa, dia sudah selesai dengan tugas mekanika dasarnya. Dan untuk melepas penat, dia mengajak Justin main game. Justin, sih, dengan senang hati menerima tantangan main game sang kakak. Karena jujur saja, dia sedikit merasa kesepian. Varend sedang sibuk dengan pekerjaannya di studio dan Kelvin juga sibuk mengurusi café barunya. Dan di sinilah dia sekarang. Gelesotan di karpet dengan mata terpaku pada layar TV serta tangannya yang tidak berhenti menekan tombol-tombol di stick PS-nya bersama Rafa.

"Bang, Raf." Panggil Justin tanpa mengalihkan pandangan dari layar, tangannya sibuk menekan tombol yang ada di stick PS-nya.

"Apaan?" jawab Rafa datar, ia juga sama sekali tidak memalingkan pandangannya dari layar. Matanya masih fokus dengan game yang sedang mereka mainkan.

"Nanti malem bang Varend mau nginep lagi. Dia nggak mau ketemu sama bang Rasya."

Refleks, Rafa memencet tombol 'pause', Justin mengerang kesal karena dia sudah hampir saja menyalip Rafa di tikungan kedua kalau saja Rafa tidak menekan 'pause' game itu. Rafa menoleh pada Justin sambil mengerutkan keningnya.

"Kenapa Varend nggak mau ketemu sama Rasya? Apa karena, tadi dia nggak ikut kita pas ketemu Digo tadi pagi?"

Justin menggeleng pelan.

"Enggak tau, sih. Soalnya, bang Varend cuma bilang itu aja. Pas ditanyain kenapa, dianya nggak jawab."

Rafa menghela nafas pelan, "Yaudah, nanti biar Varend nginep di kamar abang aja. Abang mau ngomong sama dia."

Justin mengangguk patuh, Rafa pasti akan memberi Varend 9 sesi ceramah nanti. Dia bisa merasakannya lewat sikap serius sang kakak. "Menurut abang, kenapa bang Varend marah karena bang Rasya nggak ikut ke Pekerti Luhur tadi pagi?"

"Varend itu, meskipun keliatannya tangguh dan nggak butuh siapa-siapa dari luar, tapi sebenernya, dia masih kaya anak kecil. Dia masih pengen diperhatiin, sayangnya dia gengsi buat bilang itu ke Rasya." Jelas Rafa sambil meminum kopinya yang sudah sedikit dingin. Ia kadang heran, dengan cara apa lagi agar Varend itu bisa mengerti dan sedikit dewasa menghadapi masalahnya dengan Rasya. Anak itu, terlalu sering lari dari kenyataan.

"Abang kaya bundanya bang Varend aja, deh. Sampai sedetail itu penjelasan abang."

Rafa tersenyum kecil lalu menggeleng. "Semua kesimpulan gue soal Varend, nggak gue analisis sendiri, Just. Gue punya informan yang cukup membantu analisa gue."

Justin mengerutkan keningnya, "Siapa informannya, bang?"

***

Rasya melihat dari balik jendela saat mobil putih itu terparkir dengan rapi di halaman parkir seberang rumahnya. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam sekarang dan ia masih dengan setia menunggu pemuda di dalam mobil itu pulang dengan selamat. Ia bisa melihat pemuda tinggi itu keluar dari mobilnya dengan membawa ransel sekolahnya serta tas kamera yang selalu dibawanya. Rasya tersenyum tipis, ia melihat pemuda itu cengengesan saat melihat Rafa yang sudah melemparinya dengan tatapan datar dan siap mengomel. Mereka terlibat percakapan kecil sebelum Rafa mengusak rambut pemuda itu sambil tertawa bersama.

Ada rasa iri dalam hatinya saat adiknya bisa selepas itu tertawa dengan Rafa. Rasya menghela nafasnya pelan sambil menutup hordeng kamarnya saat mereka berdua sudah masuk ke rumah Rafa. Ia merogoh ponsel yang berada di saku celana piyamanya, dan membuka satu pesan singkat dari Rafa.

From: Rafa Wiratama
Varend udah sampe di rumah gue, Sya.

Rasya memejamkan matanya sebentar, lalu perlahan jari-jarinya bergerak membalas pesan sahabatnya tersebut.

VARENDZKA | K.T.HWhere stories live. Discover now