The Fox's Gaze

416 56 4
                                    

Nafas Vania mulai terengah, ia menaiki tangga itu secepat yang dia bisa. Keringat sebesar biji jagung jatuh dari pelipisnya. Wajahnya penuh dengan peluh karena dia berlari dari depan gerbang sekolah tanpa peduli teriakan satpam yang berjaga kala itu. tangannya dengan segera meraih gagang pintu besi itu dan mendorongnya kasar sampai menimbulkan bunyi bedebum yang cukup keras.

"Julian!"

Pemuda yang sedang duduk di atas pembatas rooftop itu menoleh ke arahnya. Detik berikutnya senyumnya mengembang melihat Vania mulai berlari ke arahnya. Tangan gadis itu dengan cepat menarik Julian turun dari sana, matanya menatap Julian dengan penuh kekhawatiran.

"Ya Tuhan, lo gila ya?!" Vania menatap ngeri ke bawah, berjarak dua meter dari pembatas tempat Julian duduk tadi. "Itu tadi bahaya, Julian!"

Julian masih diam, memperhatikan setiap ekspresi yang Vania buat. Sialnya, ia menikmati bagaimana cara gadis itu mengkhawatirkannya. Padahal dulu, dia sangat ingin sekali melenyapkan gadis ini. Dendam membutakan mata hati Julian waktu itu. Dia sudah hampir gila karna rasa bencinya pada Varend dan gadis ini....

"Lo enggak apa-apa 'kan?"

Julian tersenyum tipis, "Gue nggak apa-apa."

Detik berikutnya, Vania duduk di atas lantai semen itu dengan memijit pelipisnya. Dia benar-benar panik kala menerima pesan singkat dari Julian setengah jam yang lalu. Isi pesan yang singkat, namun membuat banyak pertanyaan di benak gadis itu. Vania diam, ia bertopang dagu dan matanya menerawang.

'Gue butuh lo, Vania

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

'Gue butuh lo, Vania.'

Vania telah belajar banyak tentang hal ini, dia memang orang yang selalu ingin tahu. Utamanya tentang medis, banyak folder jurnal medis tertata rapi di laptopnya, tidak terkecuali tentang depresi. Masalah depresi baginya bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele. Banyak orang yang telah dikalahkan olehnya, mereka semua berakhir buruk, dan Vania tidak akan membiarkan Julian menjadi salah satunya.

Sejak ia mengetahui fakta bahwa Julian adalah bagian dari orang-orang yang mengalami depresi, ia selalu merasa khawatir pada Julian. Nalurinya, entah kenapa, tidak mengizinkan sesuatu yang buruk terjadi ketika Julian sedang berada di titik terendahnya. Dia ingin ada di sana ketika hal itu terjadi, dia ingin mendukung Julian agar tidak kalah oleh depresinya. Vania tidak tau persis apa alasan ia melakukan itu semua, bahkan setelah mengetahui kalau Julian adalah orang yang hampir mencelakainya selama ini, gadis itu tetap ingin ada untuk Julian. Ia hanya merasa bahwa Julian tidak sepenuhnya jahat, dia tau, jauh di dalam hati pemuda itu, dia juga terluka.

Setelah keheningan yang cukup lama, Julian kembali bersuara, "Sekarang gue makin yakin, kalo lo udah tau tentang keadaan gue."

Vania mendongakkan kepalanya, matanya tidak lepas dari Julian yang kini tengah memandang ke langit. Pemuda itu tersenyum tipis lalu menundukkan kepalanya. Irisnya menatap tepat pada hazel Vania.

VARENDZKA | K.T.HWhere stories live. Discover now