The Blue Night Sky

707 57 7
                                    

Mobil yang dikemudikan papa Vania membelah keheningan kota malam itu dengan sedikit agresif. Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat tiba-tiba Kelvin datang ke rumahnya dengan wajah panik mengabarkan Varend kecelakaan dan kini tengah dirawat di rumah sakit. Kaki Vania langsung lemas kala itu, firasatnya ternyata benar.

Rasa yang mengganjal hatinya saat Varend mengantarnya beberapa jam lalu ternyata benar, dan Vania tidak bisa menahan tangis pilunya hingga membangunkan sang papa yang tertidur di sofa ruang tengah.

Dengan terburu, Vania segera mengambil handphonenya yang berada di kamar dan memakai hoodie Varend asal lalu berlari ke mobil papanya untuk langsung pergi ke rumah sakit. Tidak peduli kalau sekarang dia hanya memakai piyama set satin pinknya dengan celana pendek sepaha di malam seperti ini.

Yang di pikirannya kini hanyalah Varendzka. Dia harus segera tau kondisi pacarnya yang sukses membuat kacau pikirannya sekarang ini. Skenario-skenario buruk yang terancang di otaknya membuat tubuhnya bergetar takut.

Ia diam, namun aliran sungai kecil di kedua pipinya tidak berhenti mengalir. Membuat semua orang di sana khawatir. Papa Vania berusaha menenangkan Vania dengan kalimat-kalimat yang meyakinkan kalau Varend akan baik-baik saja, tapi itu semua seolah tidak mempan. Vania masih menangis, wajahnya memucat, kondisinya benar-benar terguncang sekarang.

Saat memasuki rumah sakit, Vania bergegas mengekor Kelvin yang lebih dulu mengetahui kamar Varend. Keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya.

'Aku mohon Tuhan, lindungi Varendzka.'

Langkah kaki Vania terhenti, tepat saat mereka memasuki kamar VVIP itu, ia bisa melihat pemuda-nya di sana. Di ranjang dengan infus dan masker oksigen. Lutut Vania kembali melemah, air mata yang mengalir di pipinya terus mendesak keluar.

"Varend..."

Rasya yang memang posisinya tadi sedang berada di dekat ranjang Varend buru-buru menarik Vania yang hampir jatuh menyentuh lantai. Dituntunnya Vania mendekat ke arah Varend, ia sama hancurnya dengan Vania sekarang. Ia tau ini tidak mudah untuk mereka semua.

Jemari lentik Vania mengusap rambut bagian depan Varend, menampakkan sebuah perban putih yang melilit kepala si bungsu William. Wajah Varend penuh dengan goresan kecil yang memenuhi sekitar tulang pipi, jembatan hidung sempurna pemuda itu dan sudut bibirnya.

Vania seolah kehilangan akalnya detik itu juga. Melihat Varend seperti ini terasa berkali-kali menyakitkan baginya.

Dengan gerakan hati-hati, Vania membawa kepala Varend ke dalam dekapan hangatnya. Mengusap pelan surai sehalus sutera milik kekasih hatinya dan berkali-kali memberikan kecupan manis di perban yang melintang di sepanjang kening Varend.

"Sayang...," lirih Vania, tangannya kembali mendekap Varend lebih erat padanya. "Cepat bangun, aku- takut."

Dan saat isak tangis Vania kembali terdengar, papa Vania ikut memeluk anak gadisnya itu sembari memberi bisikan yang menangkan.

Kelvin dan Rasya yang melihatnya pun tidak kuasa untuk tidak ikut meneteskan air mata mereka. Malam itu benar-benar sebuah malapetaka, kecelakaan yang dihadapi Varend bukanlah kecelakaan ringan. Mereka tau keadaan pemuda itu tidak akan baik-baik saja.

Secara mental maupun fisik.

Kelvin menoleh pada Rasya yang terlihat lelah, matanya terlihat sudah sembab sejak mereka sampai ke kamar Varend tadi. Wajah Rasya juga tidak terlihat baik, ia khawatir dan Rasya kali ini tidak bisa menyembunyikannya dari orang lain. Semua seolah tertulis jelas dari ekspresi calon dokter muda itu.

Rasya sedikit mendongak kala Kelvin menepuk bahunya, seolah memberikan kekuatan dan Rasya lagi-lagi hanya bisa tersenyum tipis.

Dia tidak baik-baik saja.

VARENDZKA | K.T.HWhere stories live. Discover now