House Of Cards

559 59 24
                                    

Don't blame on me, V x Headband are my weakness for reaaaaaaaalll!!❤

Jantung Varend seolah berhenti sepersekian detik saat suara yang memekakkan telinga itu terdengar. Ia bisa merasakan Vania memeluknya begitu kuat dengan kepala Varend berada di balik bahu kecilnya. Terjadi jeda beberapa detik sebelum akhirnya ia mengurai pelukan Vania. Varend menatap Vania yang terlihat ketakutan. Tangannya menangkup kedua pipi gadis itu yang sedikit tertutupi rambut. Mata tajamnya menelisik ke setiap lekukan wajah Vania, berusaha mencari tau apakah gadisnya baik-baik saja.

"Kamu nggak apa-apa?"

Vania menata rambutnya sedikit ke depan sebelum ia mengangguk dengan yakin. Gadis itu bisa melihat mata Varend menggelap, rahangnya terkatup rapat. Varend marah.

"Stay here."

Dan dengan cepat Varend berdiri dari duduknya dan melongok ke arah jendela. Ia bisa melihat segerombolan orang berpakaian serba hitam mulai berlari, meninggalkan satu orang yang balik menatap Varend. Tangan pemuda itu terkepal, detik berikutnya, Varend berlari kesetanan keluar dan mengejar orang itu.

"V!"

Rasa khawatir kini mengalir di pembuluh darah Vania, langkahnya mengejar Varend bertambah cepat. Berbanding lurus dengan ketakutan yang dia rasakan sekarang. Jantungnya memompa dengan sangat cepat, seumur hidupnya, dia tidak pernah berlari secepat ini. Sneakers putihnya terus beradu dengan aspal, netranya terus terfokus pada pemuda yang tiba-tiba berhenti tepat di persimpangan. Kepalanya menoleh ke sana kemari seperti mencari sesuatu.

Pemuda itu menggeram kesal. Orang itu berhasil kabur. Ia meninju udara dan meneriakkan kekesalannya saat itu juga. "Sial! Sial!"

Gadis itu berhenti tepat di sebelah Varend. Tubuhnya ia condongkan ke depan dengan tangannya bertumpu pada kedua lututnya. Nafasnya terengah-engah, keringat membanjiri kening dan lehernya. Varend dengan segera menopang tubuh gadis itu agar berdiri dengan semestinya. Wajahnya sedikit kaget, ia tidak menyangka Vania akan mengikutinya sampai ke sini.

"Kak Vania! Kak Varend!" kedua sejoli itu menolehkan kepalanya ke belakang ketika mendengar seseorang memanggilnya. Tak berapa lama, Justin dan Leona kini sudah berada di depan mereka, lengkap dengan ekspresi kekhawatiran yang kentara.

"Kalian ngapain ada di sini?" Vania yang pertama bertanya, mewakili Varend saat nafasnya kembali normal.

Leona memeluk Vania sekilas. Vania sempat terkejut, matanya membulat ketika menerima pelukan dari Leona. "Untung kalian nggak apa-apa." Mata Vania melirik ke Justin seolah menuntut sebuah jawaban dari pemuda tampan yang setahun lebih muda darinya itu.

Justin menghela nafas pelan, "Kita ngikutin Digo sama Julian ke sini. Kita ketemu sama mereka di depan café deket sekolah." Kening Varend berkerut heran setelah mendengar penjelasan itu, Justin mengangguk ke arah Varend seolah mengetahui apa yang ada di kepala pemud jangkung itu. "Gue rasa mereka sekongkol."

Kepala Varend menggeleng tidak setuju, "Nggak, ini nggak mungkin."

"Kenapa bisa nggak mungkin, kak? Digo sama Jullian sama-sama punya dendam sama kakak. Tujuan mereka sama, bisa jadi mereka emang team up buat bikin kalian berdua celaka!"

Varend menggeleng lagi, tidak setuju dengan kesimpulan Leona barusan. Ia tau benar bagaimana Julian. Dia bukan orang yang suka meminta bantuan orang lain kala mengatasi masalah pribadinya, dia terlalu angkuh untuk sekedar mengucapkan kata 'Tolong' dan ia yakin, Julian bukan orang yang mudah untuk dibujuk.

"Kak," jemari Justin menyingkirkan rambut depan Vania tiba-tiba. Justin menangkup kedua pipi Vania. Matanya membulat sempurna ketika melihat darah segar mengalir dari sudut kening ke pipi gadis itu lalu menetes ke aspal. "Lo berdarah."

VARENDZKA | K.T.HWhere stories live. Discover now