Breathin'

769 67 20
                                    

"V?"

Mata Varend mengerjap pelan, berusaha memfokuskan pandangannya pada seorang gadis yang berada di samping kanannya. Wajahnya menyatakan kekhawatiran yang sangat jelas. Kedua netra cantik itu menatapnya penuh harap.

Tak ingin membuat gadis itu lebih khawatir, Varend tersenyum tipis, lalu berujar lirih, "Hai,"

Dan selanjutnya yang terjadi adalah sang gadis telah memeluknya sangat erat. Aroma lavender kembali menyapanya. Varend kembali tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya pada sisi Vania. Ingin balik memeluk gadis cantiknya itu, namun ia masih terlalu sakit untuk melakukannya.

Tak lama, mata rubahnya melirik ke belakang tubuh Vania dan ia bisa langsung menangkap sosok kakaknya di sana. Menatapnya dengan penuh perasaan lega.

"Gue panggil, dr.Gia dulu."

Setelah Rasya menghilang di balik pintu, dua sosok lain ikut mendekatinya dan jujur saja ia sedikit terkejut mendapati papa Vania berada di sini sekarang.

"Sudah merasa baikan, Varend?" Tanya pria paruh baya itu seraya mengusap rambut Varend pelan, yang membuat pemuda itu tertegun seketika.

Ia merasa sisi kosong yang berada dalam dirinya seolah kembali sedikit terisi.

Figur yang telah lama ia pikir sudah hilang. Peran yang selalu ia rindukan. Sisi yang ia yakini tidak lagi membutuhkan. Kini kembali menghantamnya telak.

Hatinya perlahan menghangat ketika tangan itu mengusap kepalanya. Senyuman menenangkan itu, serta pertanyaan yang sudah lama tidak ia dengar.

Semua afeksi ini benar-benar membuatnya kualahan. Semua hal yang ia rindukan, yang ia butuhkan dan ia harapkan ada di sini.

Bersamanya.

Dan hal itu membuat bagian dari dirinya yang lama tak tersentuh kembali mulai berharap.

Sungguh ini semua terasa asing. Namun melegakan.

Hingga Varend pun hanya bisa meresponnya dengan anggukan kecil, karena ia merasa sangat lemah sekarang.

Kedua mata Varend otomatis terpejam saat ia merasakan rasa sesak yang luar biasa serta dadanya yang seperti ditusuk ribuan jarum.

"Arggh," refleks, tangan Varend memegangi dadanya kuat. Ia meringis tertahan, rasanya benar-benar sakit dan sesak. Nafasnya terasa janggal, entah seberapa banyak ia coba menghirup oksigen, itu masih tidak cukup.

Vania dengan sedikit panik kembali mendekat, ia meletakkan tangannya di atas tangan Varend yang sibuk mencengkram bajunya kuat. Varend terlihat sangat kesakitan dan itu membuat pikirannya kembali kacau.

"Rend, sabar sebentar ya? Kak Rasya lagi manggil dokter."

Kelvin ikut mendekat sembari mengusap bahu sahabatnya itu pelan. Tak bisa dipungkiri, ia pun sama khawatirnya dengan Vania.

"Badan lo panas, Rend."

Dan Vania tidak bisa menahan air matanya yang kembali menetes saat Kelvin berkata demikian. Rasa khawatir dan takutnya semakin menjadi-jadi.

"Tenang, sebentar lagi mereka pasti dateng. Varend, jangan panik, nafas pelan-pelan okay?"

Perlahan Varend berusaha mengikuti ucapan papa Vania dengan bernafas lebih normal. Ia tau, kalau semakin ia terlihat kesakitan, orang-orang di sekitarnya juga akan ikut panik. Apalagi Vania sekarang sudah kembali menangis sambil sedikit memeluknya dari samping.

"Varend, kamu denger saya?"

Dan entah sejak kapan, Dr. Gia kini sudah ada di sebelahnya, lengkap dengan Rasya serta beberapa orang suster.

VARENDZKA | K.T.HWhere stories live. Discover now