Lights

621 72 4
                                    

"Rencana berjalan lancar. Paling enggak, Varend pasti ngalamin cedera di salah satu organ dalamnya. He's fucked up. Alat lo berfungsi sangat baik buat bikin kacau sistem mobilnya Varend, dan lo tau apa yang lebih menarik? Julian juga masuk rumah sakit." Jelas Digo sambil menyeringai. Kini dia tengah menikmati anggur merahnya di pinggir kolam renang rumahnya. Duduk bersandar di salah satu kursi panjang yang ada di sana sembari menatap langit malam.

"Whoa, hold on there. Julian? How was that possible?"

"I don't know exactly but he was there," mata Digo menggelap, rahangnya mengeras. "Protecting him."

"Stop messing around with me, Digo. Julian sama Varend udah damai?"

"Gue belum selidiki, tapi kayanya emang udah. The girl. It's always been her. Julian berubah semenjak deket sama dia. He fell for her. Both of them."

Digo bisa mendengar lawan bicaranya tertawa remeh.

"Kill her then." Katanya enteng.

Digo tertawa mengejek, "Nah, I'm not getting paid enough for this."

"I'll pay you double, just tell me how much do you want. I just want them to suffer."

"It's not all about money. I put my life on this shit as a bet. Once I failed, game over for us."

"Hmm, make sense. But, you have a plan for this girl, right?"

"I have one in my mind." Kata Digo sombong, otak liciknya akan bekerja sangat cepat di saat-saat seperti ini, "Just send me the money, cousin. I need to spoil my girls with some cash."

"Easy. As long as you can take my revenge on them. Especially William."

Digo tertawa sambil menyesap winenya elegan, "Berisik, Mark. Just do it!"

***

Rasya tidak bisa tenang. Ia terus menunduk di sebelah pintu operasi sambil mengigit bibir bawahnya dengan penuh perasaan cemas. Berkali-kali ia menghela nafas berat dan mengusap wajahnya kasar.

Sudah 3 jam Varend ada di dalam ruang operasi dan Rasya belum mendapatkan informasi apapun terkait keberhasilam operasi adiknya itu. Keadaan ini benar-benar membuatnya sesak. Ia tidak pernah menyangka harus melewati fase seperti ini lagi dengan Varend yang kembali masuk ruang operasi.

"Sya, lo tenang aja. Gue tau ini klise, tapi adek lo bakal baik-baik aja. Kita semua di sini berdoa buat Varend." Rafa menepuk pundak lebar Rasya yang kini terlihat rapuh. Ia bisa melihat bagaimana Rasya begitu kacau saat ini dan dia tidak akan menghakiminya.

Situasi ini berat.

Bahkan dia sendiri sudah hampir tidak bisa berpikir jernih saat tau Justin masuk rumah sakit kemarin. Untungnya Justin bisa kembali pulih dengan cepat, tapi kasus Varend berbeda.

Sebagai orang awam Rafa tidak mengerti seberapa parah kondisi Varend saat ini, yang dia tau pendarahan di salah satu organ vital itu parah. Tapi dia tidak tau separah apa.

Berbeda dengan Rasya. Sebagai orang yang memang belajar di bidang kedokteran, ia pasti lebih tau dan paham akan kondisi seperti ini. Resikonya, kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dan segala macamnya. Mengetahui setiap detilnya itu justru lebih menakutkan.

Rafa menoleh ke bagian bangku ruang tunggu operasi. Di sana ada papa Vania, Vania dan juga Kelvin yang sibuk menenangkan gadis itu. Vania tidak bisa berhenti menangis. Ia benar-benar khawatir setengah mati sampai sulit bernafas.

Kejadian traumatis saat ia kehilangan sang kakak, Elang, kembali menyergap batinnya. Dia tidak suka berada di rumah sakit. Ia benci sekali berada di situasi seperti ini. Bau antiseptik, alkohol dan obat-obatan membuatnya muak.

VARENDZKA | K.T.HOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz