Hurt

763 74 49
                                    

Si Justin udah ngelirik-lirik tuh. Udah pencet tombol bintangnya belom? ❤

Vania menarik tangan Varend ke salah satu minimarket di dekat tempat bimbingan belajarnya untuk duduk senejak. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan Vania baru saja selesai dengan les kimianya. Well, seperti biasa, Varend masih mengikuti kemana pun Vania pergi. Sikap siaganya tidak menurun sedikit pun meskipun teror itu 'nampaknya' berhenti untuk sementara. Varend tetap tidak mau mengambil resiko, jadi sebisa mungkin dia selalu berada di dekat Vania di sela kesibukannya menjadi seorang fotografer.

Vania meletakkan laptopnya di meja dan mulai membukanya. Varend mengedarkan pandangannya sebentar sebelum akhirnya duduk di kursi tepat di depan gadis itu. "Mau minum nggak?"

"Mau!" jawab Vania cepat, Varend mengangguk dan berdiri. Namun, belum sempat kakinya melangkah, kepalanya menoleh pada Vania.

"Mau ikut ke dalem nggak?" tanya Varend, sebenarnya dia agak khawatir kalau gadis itu sendirian di luar sini tanpa dirinya. Vania memutar kedua bola matanya malas lalu menggeleng dengan tegas. "Yakin nggak mau?"

"Iya, Varend."

"Yaudah, tunggu di sini. Jangan kemana-mana!"

"Siap bos." Vania menggelengkan kepalanya gemas saat akhirnya Varend tanpa protes lagi masuk ke mini market dan memebeli minuman serta snacks. Vania kembali fokus pada laptopnya. Matanya bergerak mengikuti setiap kalimat di laman sebuah website kedokteran yang sudah selama 5 menit ini dia baca. Ia menghela nafas berat saat menerima informasi yang baru dia dapat dari laman itu.

Perhatian Vania teralihkan pada Varend yang kini sudah kembali duduk di tempat duduknya semula dengan plastik berukuran sedang di tangannya. Varend mengeluarkan sebotol jus jeruk dan sebotol yogurt dingin dari sana. Ia meraih botol jus jeruk, memutar penutupnya dan menyerahkannya pada Vania, sementara dia mengambil yogurt dinginnya untuk dirinya sendiri. Dalam hati Vania tersenyum melihat Varend. Hal seperti membukakan penutup botol itu adalah hal sepele, ia tau. Tapi entah kenapa terlihat manis ketika Varend yang melakukannya.

Vania mengambil jus jeruk itu dan seketika kerongkongannya menjadi dingin kala jus jeruk itu ia minum. "Aku terkesan, dari sekian banyak minuman yang di tawarkan minimarket ini kamu nggak memilih buat minum beer atau alkohol."

Pergerakan Varend terhenti sejenak, keningnya berkerut "Jadi, selama ini kamu berfikir kalo aku minum dua benda itu?"

Vania mengangguk, "Iya, 'kan kamu dari Amerika."

Varend terkekeh, ia menegakkan tubuhnya dan mencondongkannya ke depan. "Aku rasa kamu lupa aku datang dari keluarga apa. Ngerokok aja aku nggak dibolehin."

"Jadi kamu nggak ngerokok?"

Varend menggeleng, "Aku emang nggak ngerokok." Pemuda itu lalu menunjukkan sekotak snack yang sedari tadi dia makan. Mengambilnya satu dan meletakkannya di antara telunjuk dan jari tengahnya seolah ia sedang memegang rokok. "Tapi aku nge-pocky." Detik berikutnya, Varend, dengan senyum merekah menguyah pocky itu di mulutnya, membuat gadis itu tertawa kecil.

"Bagus deh." Kata Vania seraya mengambil satu stick pocky dari tangan Varend lalu memakannya. Tak berapa lama Vania memanggil pemuda itu.

"Varend."

"Hmm?"

"Kalo aku potong poni gimana menurut kamu?"

Varend tampak berpikir, ia mengamati Vania sejenak. Tangannya mengusap pelan rambut bagian depan Vania lalu memilin ujungnya. Vania masih diam saja sambil menatap Varend datar saat pemuda itu mengangguk.

"Boleh." Jawab Varend tenang, nada lembut yang digunakan Varend membuat Vania sedikit kaget.

Well, respon Varend benar-benar di luar dugaannya. Pipinya entah kenapa menunjukkan semburat merah yang kentara, kontras dengan wajah putihnya. Bibirnya mengerucut lucu.

VARENDZKA | K.T.HWhere stories live. Discover now