Don't Leave Me

646 50 25
                                    

Hening.

Sudah 2 menit sejak Vania memutuskan meninggalkan ruang rawat Julian agar kedua orang itu memiliki waktunya sendiri dan belum ada yang angkat bicara. Varend terus menunduk dan Julian diam menatap langit-langit kamarnya.

Suasana ini jadi luar biasa canggung. Namun, mereka berdua masih enggan untuk memulai percakapan sampai pergerakan Varend mengalihkan fokus Julian.

Terlihat samar, namun ia bisa lihat tangan kanan Varend meremas kuat ujung kemeja rumah sakitnya itu dan perlahan merambat ke bagian dadanya.

Julian tau Varend dioperasi.

Tentu saja.

Setelah kejadian hebat itu, tidak mungkin salah satu dari mereka akan baik-baik saja.

"Lo nggak bakal pingsan di sini kan?" Tanya Julian akhirnya. Pandangannya masih terfokus pada Varend yang hanya menggeleng tanpa mendongakkan kepalanya.

Suasana kembali hening, dan melihat Varend yang diam saja seperti ini membuat Julian kesal juga.

Untuk apa dia kemari kalau terus diam seperti itu? Sebenarnya apa alasan pemuda William itu menemuinya?

"Kenapa?"

Julian menoleh lagi pada Varend, ia mengerutkan keningnya, "Apanya yang kenapa?"

"Kenapa lo ada di sana waktu itu?"

Julian diam. Memilih untuk tidak menjawab.

"Kenapa lo nggak biarin aja gue mati? Lo selalu pengen gue mati 'kan?" Tanya Varend dengan suara yang sangat kecil. Tangannya masih bertahan di depan dadanya, kepalanya masih menunduk agar Julian tidak tau kalau dia sedang kesakitan.

Julian tertawa mengejek, lalu membenarkan posisi bednya agar ia bisa menyandar dengan satu tangan dan memandang Varend yang kini mendongak.

"Lo nggak usah sok tau. Kalo gue bener-bener pengen, bisa aja gue ngga muncul malam itu dan biarin aja lo tamat di sana."

"Dan kenapa lo masih tetep muncul?" Sergah Varend. Pemuda itu menggeleng samar lalu bergumam, "Gue nggak ngerti."

Otak Julian berpikir keras, ia tidak mungkin terang-terang mengatakan kalau dia ingin menyelamatkan Varend dari rencana busuk Digo. Gila.

Julian gengsi.

"Yaaa… karena gue males aja sama Digo. Jadi, gue mau gagalin rencananya." Kata Julian tanpa menoleh lagi pada Varend. Ia membuang muka.

Mata rubah Varend menatapnya bingung, "Lo bilang ke gue lo nggak sekongkol sama Digo, tapi kenapa lo tau rencana Digo?"

Skakmat!

Badan Julian menegang. Otak pintarnya tiba-tiba macet saat diserang seperti itu. Dia tidak bisa beralasan lagi. Kenapa ia lupa kalau Varend itu cerdas? Dia tidak mungkin lupa hal-hal mendetail seperti itu.

"Jul?"

Melihat mata Varend yang penuh akan keingin tahuan, Julian menghela nafas lalu perlahan kembali memutar kepalanya menghadap Varend, "Lo inget waktu gue bilang Digo pernah ngajakin gue team up buat ngejatohin lo? Saat itu Digo udah membeberkan beberapa rencana yang akan dia lakuin buat lo. Mulai dari dia yang buntutin Vania, dia yang gebukin Justin, kejadian Vania di lempar sama batu, rencana dia ngancurin acara bakti sosial sekolah lo, sampai yang terakhir adalah rencana dia buat bikin lo kecelakaan."

Varend diam merenung setelah penjelasan Julian.

Kenapa?

Kenapa Digo bisa sebegitu dendamnya dengannya yang hanya mengalahkan dia di sebuah pertandingan basket antar sekolah? Oke, kalo ini masalah harga diri Varend paham kenapa Digo dendam padanya, tapi apa harus sejauh ini? Anak itu seolah terobsesi untuk membunuhnya dan Varend masih tidak habis pikir ini semua hanya karena pertandingan basket.

VARENDZKA | K.T.HOù les histoires vivent. Découvrez maintenant