Save You

426 44 6
                                    

Berulang kali Vania terus menatap ke arah jendela besar yang berada di sisi kirinya saat Varend mengobati luka kecil di jari telunjuknya. Ia melihat dari ekor matanya, wajah Varend terlihat tegas dengan rahang yang mengeras. Tidak ada senyuman yang terukir selama 10 menit terakhir. Dan itu membuat Vania sedikit merasa bersalah.

Yang Varend inginkan hanyalah kejujuran darinya.

Varend bukan tipikal orang yang gampang dikelabui. Ia sadar sepenuhnya kalau Vania terus mengulur waktu dan membuatnya seolah lupa dengan sesuatu yang disembunyikan gadis itu. Sesuatu mengganggu gadisnya. Dan Vania tidak kunjung mengatakan yang sebenarnya. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang.

"V,"

Varend diam, matanya terus terpaku pada kotak obat yang berada di pangkuannya.

"Varend—"

Varend menggeleng, "Lebih baik aku anter kamu pulang sekarang."

Dada Vania terasa seperti dihantam sesuatu yang tajam. Matanya terasa panas mendengar nada dingin yang Varens berikan padanya barusan. Vania tidak pernah melihat Varend marah, karena seperti yang laki-laki itu pernah bilang. Ia tidak akan mau marah di depan Vania.

Namun sekarang, melihat Varend begitu marah padanya membuatnya menjadi gadis emosional. Mengingat fakta kalau Varend adalah orang yang sangat ia sayang, mendapat perlakuan dingin darinya benar-benar menghancurkan Vania.

"Kenapa?" Suara Vania sedikit bergetar. Ia menatap punggung tegap sang kekasih di depannya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Udah jelas 'kan?" Varend berbalik menatap Vania dengan wajah datarnya. "Mau aku bujuk kamu kaya apapun, kamu nggak akan cerita. Jadi, nggak ada gunanya aku nahan kamu di sini."

Bersamaan dengan kalimat itu, setetes air mata lolos di pipi kiri Vania. Varend masih belum menyadarinya, laki-laki itu sibuk menali adidas vintage putihnya. Diam-diam Vania terus memperhatikan Varend.

Tidak.

Melainkan sepatu putih yang terlihat sedikit usang itu. Vania tau betul sejarah di baliknya dari Rasya. Sepatu itu adalah sepatu kesayangan Varend. Sepatu yang selalu dia jaga baik-baik dan sepatu yang akan terus mengisi hari-hari Varend.

Sepatu pasangannya dengan Ashley.

Katakan kalau Vania kekanakan karena mempermasalahkan hal semacam itu. Apa yang menggangunya? Ashley sudah tenang di sana sekarang, tapi dia masih merasa seperti dicurangi oleh Varend.

"Aku cuma nggak percaya diri." Ucap Vania lirih.

Serta merta jari-jari Varend berhenti mengikat sepatunya. Ia masih belum berani berbalik saat Vania kembali melanjutkan kalimatnya.

"You're just too good to be true, Varend. Semua tentang kamu itu terdengar kaya fantasi buat aku, terlalu… sempurna . Sedangkan aku—" Vania menarik nafas dalam. Tangannya mengepal erat di atas pangkuannya. "I feel like a fool now, I'm not as perfect as Ashley. I can't be her. And I'm afraid that someday you'll leave me because of that. I know this is stupid but I'm just so scared."

Varend sedikit mengerutkan keningnya, ia menyerah dan akhirnya menoleh pada sang gadis yang berada beberapa meter di belakangnya. Ia melihat Vania menunduk dengan air mata di kedua pipinya.

Sejujurnya ia bingung. Her. Kenapa Vania tiba-tiba berpikir seperti itu? Kenapa dia tiba-tiba ia menyinggung Ashley?

"Hey, hey, where's all of that came from?" Varend dengan segera merengkuh gadis bersurai cokelat sepunggung itu ke dekapannya. Bibirnya mencium puncak kepala Vania dengan sayang. "I'm not gonna leave you and no one in this world wants you to be like her. You are you, babe. You're beautiful just like that."

VARENDZKA | K.T.HWhere stories live. Discover now