2. SELAMAT BERJUANG, JIHAN

1.7M 102K 43.7K
                                    

2. SELAMAT BERJUANG, JIHAN

“SEPTIANNN!! YAKIN NIH GAK SUKA SAMA GUE? NTAR NYESEL TAUUUK.” Jihan mengejar di belakang tubuh Septian—sedikit berlari karena susah mengimbangi langkah kaki Septian yang sudah jauh di depannya. Cowok itu sama sekali tidak mau repot-repot menoleh ke belakang untuk menanggapi perkataan Jihan. Selalu begitu. Selalu Jihan yang mengejar. Kadang-kadang Jihan rasanya mau menyerah saja.

“SEPTIAN! SEPTIAN! SEPTIAN! KAPAN LO NERIMA GUE JADI PACAR LO?!”

“Capek tau ngejar-ngejar terus! Sekali-kali lo kek yang ngejar-ngejar gue. Pasti gue terima deh! Gak pake mikir langsung gue terima detik itu juga!”

Itu sih mau lo, batin Septian.

“Septian! Kapan lo nembak gue? Masa gue mulu sih yang nembak lo? Lonya kapan?!”

“Oohhhh gue tau nih! Pasti lo nolongin gue dari Marcus karena lo suka sama gue kaannnnnn??!” tanya Jihan dengan nada menyebalkan di telinga Septian namun cowok itu sama sekali tidak ada niat untuk menjawab. Ia tetap berjalan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana abu-abunya.

Jihan Halana. Hidup Septian yang semula tenang-tenang saja jadi terganggu karena cewek bersuara centil ini. Mirip seperti suara anak kecil. Di SMA Ganesha, Jihan adalah sosok cewek cantik yang selalu keterbelakang dari segi pelajaran. Cewek ini tidak terlalu pintar namun cukup terkenal di sekolahan.

Kadang-kadang Septian heran mengapa cewek ini bersikeras untuk menjadi pacarnya padahal Septian dan Jihan tidak pernah dekat sebelumnya. Mungkin karena Jihan sering memergokinya sendirian di kelas kosong yang berada di lantai atas.

“Septian ngomong donggggg! Kok diem aja sih? Berasa ngomong sama patung tau! Udah gitu patungnya bisa jalan lagi!” keluh Jihan karena sejak tadi bermonolog terus.

“Septian! Kata orang gak boleh cuekin orang yang lagi ngomong sama lo. Gak baik tau! Dosa! Pamali!” Jihan berhenti mendadak karena cowok yang sedang berjalan tenang di depannya berhenti dan berbalik badan.

“Nah gitu kek daritadi. Senyum dong! Biar makin ganteng!” Jihan nyengir lebar di depan Septian karena cowok itu sudah mau meresponsnya. “Nih kaya gini!”

“Segitunya lo biar bisa jadi pacar gue?” tanya Septian. Bibirnya menipis, marah. “Gue udah nolak lo berkali-kali. Di mana rasa malu lo? Urat malu lo putus?” Septian bertanya dengan kedua alis tertekuk. Heran bercampur kesal karena perempuan ini tidak pernah mengerti maksudnya.

“Kenapa sih? Emangnya gue gak boleh ya suka sama lo?”

“Gak usah suka sama gue,” jawab Septian singkat, jelas dan padat. Dibumbui dengan nada pedas.

“Lo bukan Tuhan. Lo gak berhak nentuin perasaan orang,” ucap Jihan. “Gue suka sama lo emangnya salah?”

“Kalau suka sama gue gak usah pake cara rendahan kaya gini! Lo pikir gue nolongin lo dari Marcus karena gue suka sama lo? Kalau gitu selamat karena lo salah. Gue nolong lo dari Marcus karena gue kasian sama lo.”

Septian mendekati Jihan. “Kalau lo suka sama gue. Jauhin gue.”

“Gak mau! Terima dulu gue jadi pacar lo!” Jihan tetap bersikukuh.

Septian menatap gemas perempuan yang ada di depannya ini. Bagaimana caranya agar Jihan sadar bahwa Septian tidak mau menerimanya? “Gue gak suka sama lo Jihan. Berapa kali harus gue bilang ke lo?”

“Gak usah ngikutin gue lagi. Lo bukan pacar gue,” tambah Septian membuat Jihan melotot, sebal. Cowok itu berbalik badan. Melanjutkan langkah kakinya yang tertunda tadi. Jihan meremas sisi jarit roknya kuat-kuat—gregetan pada Septian.

SEPTIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang