QUATTRO

5.2K 288 0
                                    

“Bee..”

Suara lembut seseorang membangunkan dirinya dari tidur. Béatrice mengucek matanya dan melihat Zia Martha berdiri di samping tempat tidurnya dan membawakan nampan makanan. Ia mendudukan dirinya di kasur, masih berusaha mengembalikan jiwanya dari tidur.

“Kau harus makan, sayang.” Martha menaruh nampan itu di atas kasur tempatnya duduk dan menyuruhnya untuk memakan sarapannya.

Béatrice menatap nampan berisi makanan itu beberapa saat hingga akhirnya ia memutuskan untuk memakannya karena ia menghargai bibinya yang telah menyiapkan makanan ini. Sedikit demi sedikit ia mulai mengunyah makanannya, meskipun saat ini ia sangat tidak berselera untuk makan.

“Kami memutuskan untuk mempercepat pemakaman kedua orangtuamu, Bee. Hari ini adalah hari pemakamannya.” Ucapan Martha membuat Béatrice menghentikan makannya. “Aku dan nenekmu akan pergi ke pemakamannya siang ini. Apa kau ingin ikut bersama kami?” Tanya Martha.

Béatrice menatap bibinya dan tersenyum. “Tentu saja, Zia. Aku ingin bertemu dengan mereka untuk yang terakhir kalinya.” Jawab Béatrice.

Martha tersenyum dan mengelus kepala Béatrice dengan sayang. “Baiklah. Habiskan makananmu, Bee. Aku akan menunggu hingga kau siap.”

Sejenak Béatrice terdiam di atas ranjangnya dan menatap kosong pintu yang tertutup. Ia mengingat kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini. Béatrice mengakui, kejadian-kejadian itu sangat mengguncang dirinya. Ia bahkan tidak tahu lagi bagaimana caranya ia bertahan menghadapi semua ini. Ditinggalkan? Sungguh menyakitkan bukan?

Béatrice mendesah. Ia pun memejamkan matanya dan memijat keningnya. Setidaknya ia akan kembali memikirkan nasib hidupnya setelah ia bertemu dengan ayah dan ibunya untuk yang terakhir kalinya.

***

Kalau banyak orang berpikir bahwa hal yang dilakukannya kali ini adalah sebuah kebodohan, maka Béatrice setuju dengan hal itu.

Hari ini, setelah ‘mengantarkan’ kedua orangtuanya ke tempat peristirahatan terakhirnya, Béatrice kembali lagi ketempat ini.

Benar, tempat yang sama seperti yang didatanginya tadi malam.

Hari sudah mulai gelap. Namun Venezia tampak tidak pernah sepi dari pengunjung. Ia memandang Canal Grande dihadapannya dan melihat beberapa gondola yang melintasi kanal terkenal di Venezia tersebut. Béatrice memandang sekelilingnya, ia berpikir sejenak. Apakah dirinya masih memiliki alasan lagi untuk melanjutkan hidupnya?

Kehilangan sosok orangtua dalam satu malam sangat mengguncang dirinya.

Ia berusaha menipu semua orang dengan terlihat tegar. Tapi sebenarnya ia sedang berbohong. Tidak, ia sebenarnya juga sedang menipu dirinya sendiri. Di dalam hati, ia merasa kosong.

Ia memejamkan matanya. Tidak merasa peduli dengan keramaian disekelilingnya. Ia mengambil waktunya untuk menikmati rasa angin malam yang mengenai wajahnya.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. Béatrice segera menoleh dan mendapati seorang bapak tua yang tidak ia kenal tengah berdiri di sampingnya. Ia menyipitkan matanya menatap pria itu.

“Siapa?”

Bapak tua itu tersenyum pada Béatrice. “Apa kau mau naik gondola?”

“Huh?” Béatrice merasa bingung dengan apa yang ditanyakan bapak tadi. Pertanyaan macam apa itu, pikir Béatrice.

Tanpa ia duga, bapak tadi tiba-tiba menarik Béatrice menuju ke gondola itu. Ia sempat membrontak tapi bapak tua itu malah tersenyum padanya. “Jangan takut. Ini gratis. Aku tidak akan menagih uang padamu, Nak.” Katanya. Ia tidak mengerti apa maksud bapak itu melakukan semua ini, tapi akhirnya ia pun duduk di gondola dan memandangi Canal Grande dengan wajah datarnya. Tenyata pria tadi adalah seorang Gondolier

“Lagu apa yang ingin ku nyanyikan untukmu?”

Béatrice menatap bapak itu lalu menggeleng. Ia tahu, memang sebuah hal yang lumrah jika kau menaiki Gondola di Venezia dan seorang Gondolier menyanyikan sebuah lagu dengan suara mereka yang merdu. Tapi saat ini Béatrice sedang enggan. “Tidak perlu, Signore(2). Kau tidak perlu bernyanyi untukku.” Ujar Béatrice.

Tapi bapak itu tersenyum dan ia tetap menyanyikan sebuah lagu untuk Béatrice.

Gondolí, Gondolà.

Sebuah lagu klasik Venezia yang mengisahkan tentang seorang anak perempuan yang sedang menaiki gondola di tengah-tengah Canal Grande yang terkenal di Venezia. Ia memandang rembulan sambil menyanyikan sebuah lagu, ‘Gondolí, Gondolà’.

Béatrice diam-diam tersenyum. Cerita gadis di lagu tersebut sama seperti dirinya. Ya, kurang lebih sama. Kecuali bukanlah dirinya yang menyanyikan lagu itu, tetapi sang Gondolier.

Akhirnya lagu pun selesai dinyanyikan. Tapi Béatrice tidak mengalihkan pandangannya dari bulan di langit Venezia malam ini. Ia baru sedikit menyesal, kenapa baru sekarang ia menyadari bahwa rembulan itu sangat indah?

“Sangat indah bukan?” Béatrice menoleh dan mendapati gondolier itu yang berkata padanya. Pria itu tersenyum. “Aku juga sama sepertimu, bambina(3). Aku sangat menyukai keindahan dari Venezia. Sampai sekarang pun begitu.” Lanjutnya.

“Dulu, aku pernah kehilangan hal yang paling berharga dalam hidupku. Saat kehilangannya, aku merasa kehilangan segalanya dalam hidupku. Aku pernah merasakan hal itu.”

Béatrice sedikit terkejut. Ia merasa bahwa apa yang dikatakan bapak ini sangatlah dirinya. Memang ia sedang merasakan hal seperti itu. Béatrice menatapnya dengan curiga. Apakah ia adalah cenayang?

“Suatu hari, ketika aku sedang merasakan perasaan kalut seperti itu. Aku datang ke Canal Grande. Dan aku, menaiki gondola malam itu. Aku menatap bulan yang bersinar terang, sama seperti malam ini. Setelahnya aku menemukan hal berharga yang menjadi alasan untukku untuk menaruh seluruh hidupku.”

“Apa itu?” Tanya Béatrice dengan penasaran.

“Venezia.”

(1): Orang yang mengayuh gondola

(2): Tuan

(3): Gadis kecil

AQUAMARINE | EUROPE SERIES #2 (COMPLETED ✔)Where stories live. Discover now