it is

777 46 2
                                    

"Mana gue tau, terserah loe ajalah."

"Bilang perasaanmu yang sebenarnya, itu satu-satunya jalan untuk menjelaskan posisi kita."

"Kenapa gue?" Adi menunjuk hidungnya sendiri.

"Karena jika dia tahu kamu mencintainya, mungkin keadaan akan lebih nyaman."

"Ngomong itu gampang, ngelakuinnya yang susah. Mendingan loe aja yang bilang kalau loe nggak pernah Cinta sama dia. Nggak ada perasaan apapun padanya."

"Urusanku mudah, jika kamu sudah membuka jalannya terlebih dulu."

Soni mulai menyalakan mesin mobilnya.

"Percuma, gue nggak bisa."

"Bagaimana kamu yakin, jika kamu belum mencobanya?"

"Justru gue udah coba tapi hasilnya..."

"Apa dia menolakmu?"

"Lebih dari itu, dia sama sekali nggak menganggap gue dan malah menyangka itu gurauan."

"Kamu kurang serius." Soni melajukan kendaraannya meninggalkan parkiran mini market.

"Bukan nggak serius tapi dia nganggap gue lagi membuat lelucon. Dan itu memang tampak seperti lelucon."

Adi kembali menghabiskan minumannya dengan sekali teguk. Kebiasaan buruk dari kecil yang sulit dihilangkannya itu terus mengikutinya hingga dewasa.

"Mungkin masih ada cara lain."

Soni melirik Adi yang tampak tidak bersemangat.

"Apa?"

                           ***

Di rumah besar itu menjadi tempat luapan emosi atas semua yang dialami Tommy. Tommy selalu bersikap kasar pada Rose, layaknya musuh besar.

Tapi dengan sabar Rose berusaha mengembalikan kepercayaan Tommy padanya. Hingga Tommy semakin sulit mengendalikan diri, ada rasa benci di hatinya yang terus disirami kasih sayang dan perhatian dari sang ibu tiri.

Hari libur itu Tommy terpaksa berada di rumah. Dia tidak punya tujuan, karena tujuan biasanya telah berada di rumahnya.

Tommy duduk santai di tepi kolam renang. Menatap kosong dengan angan yang bercabang entah kemana. Dia ingin pergi tapi tak tahu kemana dia harus pergi.

"Ini minumannya Tom."

Rose membuatkan segelas ice coffie kesukaan Tommy. Dan beberapa potong puding green tea buatannya sendiri.

Tommy tergiur dengan makanan dan minuman kesukaannya. Tapi gengsinya dan rasa tidak sukanya membuatnya tetap bertahan dalam wajah dinginnya.

"Aku tidak minta, ambil lagi!"

"Tante tau kamu... "

"Hei, sejak kapan aku jadi keponakkanmu?"

"Maaf, mama... "

"Perasaan aku tidak dilahirkan olehmu."

Tommy masih membuang mukanya dari Rose.

"Aku... "

"Kita tidak seumuran."

"Saya.. "

"Memang sejak kapan kamu jadi pembantuku?"

"Maksudnya?"

"Sopan sekali, dari desa mana asalmu?"

"Tommy! "

Rose mulai tidak sabar dengan perlakuan Tommy yang selalu menyelanya ketika bicara dan membuang muka terus darinya.

Rose mendekati Tommy dan berdiri di depan Tommy. Saat Tommy berpaling arah, Rose mengikuti kemanapun arah Tommy menatap.

AMBIVALEN [END]Where stories live. Discover now