flavors

867 40 4
                                    

Tommy terkejut ketika bibir ibu tirinya itu menyentuh bibirnya. Tommy terdiam dan tak membalas.

Rose melepaskan ciumannya yang tak berbalas Tommy,  dia mundur selangkah dan menatap anak tirinya itu dengan rasa kecewa.

Keduanya bertatapan sejenak hingga akhirnya Tommy memburu bibir Rose dengan cepat. Tommy mendekap Rose erat, begitu juga Rose,  seakan bukan hanya rumah itu yang menjadi milik mereka berdua, tetapi seisi dunia hanya ada mereka, tak ada yang lainnya.

Pagi yang hangat menjadi panas bagi Rose dan Tommy. Jika saja mereka tidak ingat Tommy harus bekerja,  mungkin peluk cium itu akan lebih lama baru terlepas.

                           ***

"Pakai ketuk pintu segala, biasanya juga nyelonong masuk."

Tommy langsung menggerutu ketika Teddy mengetuk pintu ruangannya berulang-ulang.

"Lagi sibuk Tom?"

Teddy menghampiri Tommy yang tak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya.

"Lihat saja sendiri!"

Tommy masih menggerak-gerakkan pulpennya di atas kertas, menulis, menggambar dan coretan tak jelas lainnya.

"Sepertinya sebagian besar orang di kantor ini mengalami masalah yang sama."

Teddy ikut mengambil pulpen dan kertas dan mencoret-coret tak jelas mengikuti apa yang dilakukan Tommy.

"Maksud loe?"

"Berada dalam kebimbangan."

"Kebimbangan apa? Bicara yang jelas, langsung pada intinya. Ada perlu apa loe kesini? pake acara basa-basi dulu segala."

"Memangnya gue nggak boleh maen ke ruangan loe?"

"Ya boleh, masalahnya jam makan siang sudah lewat dan urusan pekerjaan sudah selesai. Tugas kita sekarang hanya menunggu... "

"Bicara dengan loe, semuanya dikaitkan dengan pekerjaan."

"Loe sendiri?"

"Gue lain, dalam sistem hidup gue masih ada yang namanya iklan."

"Iklan? Kita memang bekerja untuk itu, loe nggak ada bedanya dengan gue."

"Dalam urusan tertentu memang, tapi urusan hati, kita beda."

"Ya iyalah, hati loe punya loe, hati gue ya punya gue."

"Apa sakit loe kemarin ini bikin loe jadi nggak bisa berpikir jernih Tom?"

"Maksud loe apa Ted?"

Tommy menghentikan coretannya dan serius menatap Teddy.

"Loe masih cinta Vizzy?"

"Kenapa loe tanyakan itu?"

"Gue hanya ingin tau perasaan loe sama dia."

"Cemburu loe itu berlebihan Ted. Dia pacar loe kan? Jangan sampai keraguan loe menghancurkan hubungan kalian."

"Gue nggak perlu nasehat loe, gue perlu jawaban loe Tom."

"Apa itu perlu?"

"Gue perlu tau jawaban loe,  iya atau tidak?"

"Gue... Gue sayang dia."

Tommy meneruskan coretannya tapi matanya mulai tak fokus dan pikirannya berterbangan ke segala arah.

"Yang gue tanyakan itu cinta Tom, bukan sayang."

"Kenapa loe paksa gue? Loe tebak aja sendiri jawabannya."

"Gimana kalau kalian pacaran lagi?"

"Gila, loe gila Ted. Hanya orang gila yang nyuruh pacarnya bersama orang lain." Tommy mulai meninggikan suaranya.

"Loe masih ada hati sama dia?"

"Rasa takut loe berlebihan Ted."

"Takut?"

"Takut jika pacar loe nggak mencintai loe."

"Justru itu yang ingin gue tau, apa dia bisa mencintai orang lain selain loe? Dan gue juga ingin tau rasa yang tertinggal di hati loe."

"Kenapa?"

"Karena gue ingin loe dan Vizzy bebaskan gue dari perasaan nggak jelas kalian berdua."

Teddy tak bertahan untuk juga meninggikan suaranya.

"Perasaan Vizzy jelas sama loe,  karena itu kalian pacaran kan?"

"Dia bukan pacar gue, gue sama dia nggak pacaran."

"Kalian... Jadi kalian...?"

"Loe dan Vizzy udah bikin gue nyaris gila Tom."

Teddy merendahkan suaranya dan dia terlihat tidak bersemangat.

"Memang apa yang udah gue perbuat sama loe?"

"Gue rasa loe pasti tau. Jangan buat semuanya menjadi rumit."

Teddy meninggalkan Tommy begitu saja dengan keheranan yang besar.

                           ***

Alin mencoba menghubungi Adi tapi sahabatnya itu mengabaikan teleponnya. Pesan yang Alin kirim pun tak berbalas apapun dari Adi.

Alin mengerti jika penolakkannya pada Adi telah membuat jarak antara dia dan sahabat sejak kecilnya itu semakin jauh.

Tapi Alin tidak bisa menerima Adi, keinginannya untuk berpacaran dengan Soni membuatnya menutup mata dari semua hal baik yang ada pada Adi.

Adi yang selalu nenemaninya dalam suka dan duka, dalam segala situasinya. Adi selalu menjadi orang yang pertama bagi Alin.
Tapi untuk urusan cinta, mungkin Adi adalah orang terakhir yang akan dia pikirkan.

Alin merasa sepi, sudah cukup lama Adi menghindarinya. Tapi Alin yakin Adi akan segera baik lagi padanya, seperti biasanya. Adi tak pernah bisa marah lama padanya.

                        ***

Adi berusaha mengabaikan telepon Alin yang terus menerus mengganggunya. Dia ingin sekali mengangkatnya tapi dia menahan diri. Dia berharap Alin mendatanginya tapi Alin tidak pernah mendatanginya jika tidak sedang susah.

Adi menutup telinganya dengan headset dan memutar lagu dengan kencang agar dering teleponnya tak terdengar.

Dia mencoba memejamkan mata meski sulit, dia ingin tertidur tapi tidak bisa. Berulang kali dia kembali membaca pesan dari Alin dan berniat membalasnya tapi berulang kali juga dia menghapus kembali pesan yang akan dikirimkannya.

Adi harus bertahan menjauhi Alin seperti nasehat Soni. Agar Alin bisa sadar dengan perasaan sebenarnya dari ketiadaannya.

"Terkadang, orang baru menyadari perasaan cintanya, setelah dia kehilangan ."

                         ***

Tommy kembali ke rumah besarnya yang tak lagi terasa sunyi. Rumah itu jadi terlihat terang dan nyaman bagi Tommy. Perhatian dan kasih sayang Rose membuatnya betah dan ingin segera menemui ibu tirinya itu.

"Apa aku bisa mendapatkan ciuman selamat malam, Rose?"

Tommy melongok di muka pintu kamar Rose.

"Tentu saja, lebih dari itu."

Rose menarik Tommy ke dalam kamar dan mereka berciuman lembut dan hangat.

Suasana yang sepi seakan membius mereka dalam aroma Cinta yang menggebu. Rose seakan tak bisa menahan diri dan mendorong Tommy hingga terbaring di tempat tidur.

Perlahan Rose membuka pakaian luarnya dan Tommy hanya terdiam, bahkan ketika Rose membuka baju kemejanya, Tommy tidak bergerak ataupun menolak.

Mereka kembali berciuman di atas tempat tidur, terbuai romansa Cinta yang sempat tertahan lama.

Perlahan suara langkah kaki terdengar. Semakin keras dan semakin dekat.
Daun pintu kamar mulai bergerak dan perlahan terbuka.

"Lina, apa yang...?"

AMBIVALEN [END]Where stories live. Discover now