1

67.5K 2.9K 168
                                    

Cinta Putri Prawirohardjo memandangi potret yang diambil saat acara capping day beberapa waktu yang lalu. Di dalam foto itu, dia bersanding dengan tiga orang anggota keluarga yang memakai jas dokter. Hanya dirinya sendiri yang mengenakan seragam bidan dengan cap di atas kepala.

Cinta mendesah frustrasi. Sejak zaman nenek moyang dahulu kala, hampir semua keluarga besarnya berprofesi sebagai dokter. Sepupu, paman, budhe, kakek, sampai buyutnya, semua adalah dokter. Maka Cinta pun mengira sudah sewajarnya ia menjadi dokter juga. Dia pikir itu adalah takdir. Sayang, impian itu tak pernah terwujud.

Tiga kali ia gagal tes perguruan tinggi negeri. Akhirnya Cinta menyerah untuk bersekolah di fakultas kedokteran. Daripada menganggur atau menunggu pinangan, Cinta memutuskan untuk tetap kuliah. Ia mengambil jurusan kebidanan di salah satu stikes tidak terkenal dengan bantuan dana dan nama besar ayahnya.

Cinta mengira bahwa jurusan kebidanan mungkin mirip dengan kedokteran. Namun setelah masuk ke bangku perkuliahan, Cinta baru tahu bahwa kedua jurusan itu benar-benar berbeda. Cinta bahkan tak pernah tahu bahwa bidan adalah seseorang yang tugasnya menolong persalinan. Dia kira bidan itu sama dengan perawat yang mengurusi orang sakit. Cinta terjebak dan tak bisa keluar. Kini dia harus menyelesaikan studi agar bisa mengangkat dagu di hadapan keluarga besar.

"Kalau kamu nggak bisa jadi dokter, seharusnya calon mantu nanti dokter."

Ucapan bibinya yang menyakitkan saat pertemuan keluarga hari Minggu lalu itu masih membuat hatinya sakit. Dia bisa berkata seperti itu padahal ia sendiri bukan dokter. Bibinya itu hanya orang luar yang masuk ke dalam keluarga. Cinta mendesah dengan kesal. Gara-gara dirinyalah keluarganya jadi diremehkan. Padahal ayah, ibu, dan kakaknya, semuanya adalah orang-orang sukses. Mengapa dia bisa jadi seperti ini?

Cinta meremas tangan dan membulatkan tekad. Hari ini, ia akan bekerja keras agar nanti bisa menjadi sukses. Seorang bidan juga bisa sukses, kok. Dia yakin begitu. Adiknya mbah buyut dulu juga ada yang berprofesi bidan dan jauh lebih kaya ketimbang keluarga-keluarga lain yang dokter. Dia pasti bisa jadi seperti itu.

"Lihat saja, Bi, akan kubungkam mulutmu dengan kesuksesanku nanti!" tegas Cinta.

Ponsel berdering sehingga Cinta mengakhiri sesi galaunya. Ada panggilan masuk dari Lita, teman satu kelompok praktik.

"Halo, Lit, ada apa?"

"Kamu di mana? Kok belum dateng? Mau bunuh diri kamu? Ini hari pertama kita magang!"

Cinta termenung sejenak, memandangi jam dinding di kamar yang menunjukkan pukul enam. Dia belum telat, kan? Masuk shift pagi itu pukul tujuh. Ngapain dia berangkat pagi-pagi gini? Toh dari apartemen ini ke rumah sakit tempat magang hanya butuh waktu sepuluh menit saja.

"Rajin amat, sih, jam segini udah berangkat?" ucap Cinta santai sambil menyogok upil dari hidung. Dia memainkan benda itu di tangan sejenak, lalu menempelkannya di bawah meja belajar.

"Gila kamu! Emangnya kamu pikir ini jam berapa?" teriak Lita putus asa.

Cinta mengerutkan kening melihat jam dinding yang ternyata tidak berdetak. Jam itu mati. Mata Cinta membelalak. Buru-buru dia bangkit dan memandangi jam di ponsel. Jam digital itu menunjukkan waktu tujuh lebih lima belas menit. Cinta langsung kalang kabut. Dia mengganti kaos dan celana pendek dengan baju seragam praktik. Cinta mengambil jas lab, tas, hair net, mengenakan sepatu, lalu berlari keluar dari rumah.

Love And Heart [Republish]Where stories live. Discover now