🌈BAB 7🌈_ Boleh minta no HP nya?

10.4K 760 13
                                    

Cinta itu seperti kentut, nggak bisa dibeli, nggak bisa dicari, hanya bisa menanti dari orang yang memberi dengan ikhlas hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cinta itu seperti kentut, nggak bisa dibeli, nggak bisa dicari, hanya bisa menanti dari orang yang memberi dengan ikhlas hati.

"Mau sampai kapan le?" Ningsih menatap Salman sendu yang tengah terpekur menatap foto wanita cantik, yang berada di genggamannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau sampai kapan le?" Ningsih menatap Salman sendu yang tengah terpekur menatap foto wanita cantik, yang berada di genggamannya. "Okta sudah bahagia disana. Relakan. Ikhlaskan."

Salman mendongak mengalihkan tatapan kepada ibu yang tengah duduk di sampingnya. Salman menggeleng samar, bibirnya menarik senyum tipis. "Salman sudah ikhlas, Bu. Salman hanya ..."

Salman tengah mengingat bagaimana bodohnya Ia dulu, kala Ia tega menelantarkan Nanda. Salman benar-benar berada di titik terendah di hidupnya. Salman melihat Nanda sebagai penyebab meninggalnya istri yang begitu Ia cintai. Salman menjadi gila kerja dengan Nanda yang sepenuhnya dirawat oleh nenek dan adik perempuannya. Salman bahkan sama sekali tak pernah menginjakkan kakinya lagi ke rumah sampai saat ini. Baginya, tempat bernaung keluarga kecilnya itu hanya akan mengingatkan kenangan indah bersama sang istri.

Masa tiga tahun yang benar-benar nyaris membuat Nanda menjadi yatim piatu di usia sekecil itu. Tak terhitung bagaimana bodohnya Ia melukai diri sendiri untuk bisa bersama istri tercinta, tanpa memikirkan anaknya yang bahkan belum paham arti dari sebuah kehilangan.

"Move on ...." Ibu
Ningsih membelai lembut kepala Salman dengan sayang. Salman refleks menolehkan kepalanya dengan cepat, matanya menatap ibunya lekat-lekat.

"Ibu dapat kata itu darimana?"

"Dira. Hehe." Ibunya terkekeh pelan. Salman mendengkus jengkel, karena Dira-adiknya mengajari Ibu kata-kata anak jaman sekarang.

🍁🍁🍁🍁🍁

Salman mengingat percakapan dengan Ibunya tempo hari. Apakah benar dia harus move on secepat ini? Apakah benar Nanda butuh seorang Ibu? Apakah benar Dia mulai tertarik dengan Retno? Pertanyaan - pertanyaan itu terus terngiang di pikiran Salman.

Tidak ... Salman hanya mengagumi Retno saja. Tidak lebih. Ya ... hanya sebatas itu. Ia masih mencintai Okta. Salman menggelengkan kepala, tidak menyetujui pertanyaan yang terus terngiang di kepalanya.

"Kenapa Pak?" Salman membelalakkan matanya, Ia lupa bahwa di depannya masih ada bu guru cantik itu. Retno yang melihat tingkah absurd Ayah muridnya ini hanya terkekeh pelan.

"Nggak apa-apa, Bu. Oh ya, Nanda di sekolah bagaimana, Bu?"

"Nanda anak yang baik, Pak. Semangat, ceria." Retno mengatakannya sambil tersenyum bangga, binar matanya menyiratkan kebahagiaan. Ia selalu menganggap bahwa anak muridnya adalah bagian dari hidupnya. Anak muridnya sebagai anak-anaknya. Dia selalu semangat ketika membicarakan anak didik yang begitu disayanginya. Salman yang melihatnya ikut tersenyum. Kagum melihat betapa tulusnya Retno memberi kasih sayang kepada para muridnya tanpa pamrih. Apakah yang dikatakan Ibunya itu benar?

Bukan menggantikan tapi mengikhlaskan. Kata-kata ibu Ningsih yang mengetuk relung hati Salman.

"Juga sedikit keras kepala."

Salman tersenyum mendengar kalimat Retno. Sifat keras kepala Nanda yang menuruni sifat Mamanya. Sifat yang menurut Salman juga merupakan salah satu penyebab kematian sang istri.

"Pak?" Salman menautkan kedua alisnya, melihat raut wajah Retno yang berubah serius. Retno menghela nafas.

"Nanda juga sering terlihat kesepian. Beberapa kali, saya melihat Nanda melamun setelah menatap temen-temennya diantar Ibu mereka." Kali ini, Salman tersenyum miris mendengar kalimat Retno. Merasa miris, putra semata wayangnya harus nengalami kehilangan sebesar ini di usia yang masih sangat belia.

Salman mengerjapkan mata, melihat Retno menitikkan sebulir air mata. Ekspresi tulus Retno yang mampu meruntuhkan keraguan Salman.

"Bu, boleh Saya minta nomor ponsel Bu Retno?"

"Bu, boleh Saya minta nomor ponsel Bu Retno?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tuh kan, Salman gercep deh... Sebel, nggak bisa goda - godain duda tampan oneng emesh lagi. T-T

R(RETNO)O ✔ (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang