🌈BAB 22🌈_Terbuka

4.2K 416 6
                                    

"Nggaklah!" Retno mengorbitkan kedua bola matanya, reaksi yang Ia berikan atas pertanyaan Salman yang mengada-ada

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Nggaklah!" Retno mengorbitkan kedua bola matanya, reaksi yang Ia berikan atas pertanyaan Salman yang mengada-ada. Salman diam-diam melengkungkan senyum kemenangan di bibirnya. Merasa bangga dengan pesonanya yang luar biasa. (Wuek) 👅

"Aku ragu nerima Kamu itu, karena takut Kamu nanti lari tunggang langgang lihat Aku kumat gilanya," Retno terkekeh melihat Salman menggeleng tegas tak terima dengan ucapannya. "Tapi kan, Aku dah nerima Kamu, Mas. Berarti Aku dah percaya sama Kamu."

"Kalau boleh tahu, sejak kapan Kamu ngalami kaya gini?" Salman menatap manik mata Retno dalam-dalam, seakan menyelami manik sehitam malam itu. Sudah saatnya Ia mengetahui bagaimana awal mula gangguan kecemasan yang Retno alami ini. Walau, sedikit demi sedikit Salman sudah bisa menerka.

Retno menerawang, mencoba mengingat, "sejak Aku kelas dua SMA," Retno menghela nafas lebih panjang, matanya mengerjap beberapa kali, senyum sedih terukir jelas di bibir tipisnya.

"Ayah, Lelaki pertama yang jadi cinta pertamaku, sosok ramah, hangat, kuat, pintar, tegas." Salman tersenyum melihat bagaimana Retno sangat mengagumi sang Ayah.

"Aku sama mbak Anti sering bertengkar karena rebutan Ayah."

"Kamu punya Kakak?"

Retno mengangguk sebagai jawaban, "lima tahun lebih tua dari Aku."

Salman tersenyum mengusap puncak kepala Retno. Menyuruh Retno melanjutkan ceritanya. Salman kembali menyusun puzzle di pikirannya, bagian-bagian yang semula samar, tampak semakin jelas satu per satu.

"Ayah lebih sayang mbak Anti, Dia pinter, penurut, lemah lembut, pokoknya beda banget sama Aku. Sampai," Retno mengambil minum di meja yang ada dihadapannya, menghabiskan satu gelas air putih hingga tersisa seperempatnya saja. Ia merasakan tenggorokannya sangat kering sekarang. Bagaimanapun Ia sebentar lagi, untuk pertama kalinya, Ia akan membuka aib keluarga yang kata Ayahnya harus Ia simpan rapat. Kegiatan yang tak pernah luput dari pengamatan Salman. Tangan Retno yang bergetar saat mengambil gelas pun, tak luput dari pengamatan Salman.

"Saat kelas tiga SMA, mbak Anti ketahuan hamil diluar nikah sama pacarnya yang juga satu kelas. Dunia Ayah seakan runtuh, anak yang selalu Ia bangga-banggakan di depan saudara dan teman-temannya, mengkhianati kepercayaannya." Salman menghapus cairan bening yang keluar dari mata Retno. Retno menghela nafas berkali-kali untuk menghentikan tangisnya yang akan segera meledak. Salman dengan sabar menunggu Retno melanjutkan cerita, Ia yakin jika Retno membagikan beban yang selama ini Ia tanggung sendiri, akan bisa mengurangi sedikit kondisi gangguan kecemasannya. Ia hanya perlu bersabar, tanpa memaksa, tanpa berusaha menghentikan.

"Ayah berubah. Ayah jadi pendiem. Ayah jadi over protektif. Ayah jadi sosok dingin yang tak mau dibantah. Ayah tak lagi mau dengerin pendapat orang lain. Ayah," Retno memenggal kalimatnya, Ia merasa dadanya berdenyut nyeri mengingat bagaimana sosok Ayahnya berubah menjadi sosok dingin seperti sekarang.

"Ayah mulai nentuin Aku harus masuk SMP dan SMA mana. Nentuin Aku harus masuk jurusan apa. Nentuin kalau Aku harus jadi Dokter seperti cita-cita mbak Anti." Retno tersenyum miris.

"Aku yang dari dulu selalu jadi bayangannya mbak Anti, dalam satu kedipan mata harus jadi kloningannya Mbak Anti yang dipaksa persis bagaimanapun caranya. Aku yang tak sepintar mbak Anti harus jadi seorang yang cerdas bagaimanapun caranya. Aku harus mengubur kesukaanku tentang seni, yang tak disukai Ayah karena membuang-buang waktu. Aku yang harus merelakan masa sekolahku untuk bermain dengan teman sebayaku, karena kata Ayah tak berguna. Aku yang harus selalu belajar tanpa mengenal waktu." Retno tak lagi bisa menahan tangisnya. Ia menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Salman mengelus ujung kepala Retno dengan sabar. Menunggu Retno tenang kembali hingga sepuluh menit berlalu, Retno kembali menurunkan kedua tangannya dan mencoba meredakan tangis.

"Tapi, Aku seneng, dengan begini Aku bisa jadi anak kebanggaan Ayah, Aku bisa buat Ayah tersenyum bangga karena nemuin lagi sosok anak yang Ia inginkan. Aku nggak mau bikin Ayah kecewa karena sudah membuat Aku menjadi sosok mbak Anti yang Ayah suka."

"Pasti berat banget buat Kamu."

Retno memaksakan senyumnya. "Awalnya Iya, tapi lama-lama Aku jadi terbiasa. Mungkin karena terlalu tertekan itu juga, gangguan kecemasanku perlahan muncul."

"Maaf sayang, tapi, kenapa Kamu sekarang bisa jadi guru bukan dokter seperti yang Ayah Kamu mau?"

"Aku jadi pembangkang," Retno terkekeh kecil, "karena Aku udah merasa dewasa kali ya, jadi Aku udah berani ambil keputusan sesuai keinginanku. Sudah mulai berani mengutarakan pendapat dan keinginanku sendiri."

"Ayah Kamu?"

"Marah pasti, tapi sedikit demi sedikit Ayah nerima walaupun banyak olokan dan cibiran yang sering Ayah ucapkan. Gaji sedikitlah, nggak ada masa depanlah, nggak memanfaatkan kecerdasanlah. Padahal cerdas juga Aku terpaksa."

"Apa itu juga jadi keputusan Kamu, memilih tinggal sendiri?" tanya Salman dengan hati-hati.

Retno mengangguk membenarkan, "Aku nggak mau hubungan Aku dan Ayahku makin renggang, jadi lebih baik Aku tinggal sendiri." Retno tersenyum pahit, "tiap hari Kami berantem."

Retno tersenyum menatap Salman, merasa berterimakasih karena sudah mau mendengar cerita hidup membosankannya. "Terima kasih ya, Aku jadi lega setelah nyeritain ini ke Kamu."

"Kamu harus tahu kalau sekarang Aku akan jadi pendukung nomor satu apapun keputusan Kamu selama itu baik, dan akan jadi pendengar paling setia apapun cerita yang akan Kamu ceritakan," kata Salman dengan tulus hingga membuat senyum Retno merekah dengan sempurna.

Bagaimana pria didepannya ini begitu mempesona dan membuat hati Retno penuh hingga rasanya seperti mau meledak?

Mungkin setelah ini Retno akan membenarkan perkataan Ayahnya yang sering sekali diucapkan, bahwa Retno adalah anak yang ceroboh karena selalu mendahulukan emosi daripada perhitungan otaknya. Terbukti, karena saat ini Retno tengah maju dan mencuri cium bibir Salman, walau hanya sekilas.

*****

Yang pada nyangka kalau Adli yang jadi villain, kalian salah.... Hehe.

Akan segera tiba waktunya...

R(RETNO)O ✔ (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now