#4 Iya atau iya?

9.3K 619 6
                                    

Charlie POV

Mau menikah denganku?"

"Tidak." Kata itu keluar begitu saja dari bibir ranum gadis berambut pirang ini. Hal itu sontak membuatku memelototkan mata.

Bagaimana tidak. Tadi dia tersipu malu, tapi sekarang dia malah menolak lamaranku. Dia sungguh tidak tahu diri.

"Tak ada penolakan, hanya iya atau iya!"

"Tolong. Kita baru saja mengenal. Lebih tepatnya bertemu dan kau menyiksaku. Aku bahkan tidak tahu namamu. Kau menculikku ke sini, lalu tiba-tiba kau melamarku? Kau gila?"

Gadis manusia itu memandangku dengan memelas, kemudian dengan sisa tenaganya, ia berusaha bangkit dari duduknya, namun usahanya gagal.

Gadis itu terjatuh tepat di depanku. Wajahnya membuat ekspresi kesakitan. Ia meringis sambil melirik kaki lebamnya, lalu kembali memandangku, berisyarat bahwa ia membutuhkan bantuan.

"Cih. Tadi kau menepis tanganku!" Aku meliriknya sambil berdiri. Sedangkan gadis itu, dia terlihat melemparkan tatapan kesal padaku, kemudian kembali mencoba sekuat tenaga untuk bangkit, namun setelah beberapa kali mencoba, ia tetap terjatuh lagi. Itu membuatku senang. Aku menganggapnya sebagai balasan karena gadis ini sudah berani menolakku.

"Dengar, aku sudah berbaik hati karena membatalkan niat untuk membunuhmu. Jadi, jangan buat aku marah atau aku akan membunuhmu di sini. Kau hanya perlu menjawab iya!" tegasku, tak peduli akan wajah kesakitannya.

Aku pun langsung memutar tubuhku membelakanginya. "Baiklah, kita akan menikah 6 hari lagi." Aku tahu gadis ini tidak akan menjawab iya, jadi untuk apa buang waktu.

Lebih baik mengucapkannya langsung, kan?

Karena penasaran dengan ekspresi wajahnya, aku pun membalikkan badan. Aku mendapati gadis itu tengah menunduk. Ia menyembunyikan wajahnya dari pandanganku. Seolah tengah bersembunyi dari seekor singa yang sedang kelaparan.

Tanpa pertanda apa pun, aku menarik rambut pirangnya. Membuat sang empunya meringis kesakitan sambil memandang wajahku dengan mata berkaca-kaca.

Yah, Aku cukup puas melihat wajahnya.

"Mengerti?" tanyaku seraya mendekatkan wajah kami berdua.

Aku dapat merasakan sentuhan napasnya di kulitku. Mata birunya yang berkaca-kaca menatapku tajam seolah ingin sekali membunuhku.

“Sayangnya, kau begitu lemah, kau tidak akan bisa membunuhku… Siapa namamu?” Aku memejamkan mata. Mengingat-ingat nama gadis ini, kemudian berdecak sambil tersenyum lebar. “Ah, Kiara, ya?”.

Setelah puas melihat wajahnya yang kesakitan, aku pun melepaskan tanganku dari rambutnya. Tak memedulikan dia yang masih meringis sambil memegangi rambutnya, aku langsung bergerak menggendongnya, kemudian mulai berlari dengan perlahan mengingat bahwa calon istriku ini mabuk udara.

Sepanjang perjalanan. Tak ada obrolan apa pun di antara kami. Dia diam dan larut dalam pikirannya sedang aku fokus dengan jalan di hadapanku.

Ya, walau sesekali aku mencuri pandang padanya. Matanya benar-benar telah menyihirku hingga aku ingin terus menatapnya. Ah, aku benar-benar harus memajang bola mata itu suatu hari nanti.

"Anda kenapa?" tanya gadis manusia itu dengan terbata-bata. Sepertinya, dia mulai menyadari tindakanku yang diam-diam meliriknya.

"Diam!"

Entah kenapa aku tak bisa mengeluarkan kata-kata selain itu. Karena sentakanku itu, gadis itu langsung menunduk dan menggigit bibir bawahnya. Kini aku menyesali perkataan ku itu. Mendadak, aku ingin mendengar suaranya lagi, namun aku tidak tahu harus mengatakan apa.

Haruskah aku memulai obrolan dengan menjatuhkannya ke tanah?

"Maaf"
"Apa?"

Kami mengucapkan itu bersamaan. Hal itu membuat suasana di sekitar kami terasa sedikit canggung.

“Katakan apa yang ingin kau ucapkan tadi.” Aku menyuruhnya untuk melanjutkan kalimatnya duluan. Karena sejujurnya, apa yang ingin aku katakan tidak begitu penting.

"Tidak, Anda saja," ucapnya dengan posisi kepala menunduk dalam.

Aku membuang napas panjang. Gadis ini membuatku jengkel lagi. Dia tidak mendengar perintahku, tapi malah balik memerintah padaku. Aku ingin memakinya, namun rumah Paman James sudah dekat. Jika ia tahu aku memaki gadis ini, dapat dipastikan bahwa ia akan memukul kepalaku.

"Sudahlah. Kita sudah sampai," ucapku sambil membuka pintu dengan kaki kananku. Lebih tepatnya, aku menendang pintu itu.

Suasana disini sepi. Mungkin, para tetua menyebalkan itu telah kembali ke istana. Mereka tidak bisa menghabiskan waktu terlalu lama di luar istana agar ayahku tidak mencurigai pergerakan mereka.

I'm a MIXED BLOOD [TAMAT]Where stories live. Discover now