#12 Seandainya kita manusia

7K 479 14
                                    

Charlie POV

Besok, aku harus menghadiri upacara untuk memanggil Hoisa kembali. Hoisa, Ibu Palet, istri Paman James. Dia bibiku dan seorang manusia. Dulu, dia sangat dekat dengan Ibuku. Sahabat mungkin, itulah mengapa Ibu membantunya.

Aku berjalan ke arah ruang tidurku.
Aku memiliki ruang tidurku sendiri. Ruangan itu senyap, sepi, dan menenangkan. Aku selalu kemari dikala aku lelah dengan Evelyn. Bukannya apa, tapi terkadang Evelyn mendengkur sangat keras ketika ia tidur. Itu membuatku terjaga sepanjang malam dan aku tidak menyukainya.

Saat aku tengah berjalan melewati kamar Kiara, aku langsung terdiam cukup lama di samping pintu kamarnya. Aku mendengar suara indah Kiara. Suara lembut yang memabukkan. Dia sedang bernyanyi di depan jendela besar yang ada di kamarnya. Bahkan, saking indah nyanyiannya itu membuat beberapa burung turun dan berkicau di sekitarnya. Pemandangan yang cukup indah bagiku.

Tunggu, yang aku maksud indah bukanlah Kiara, tapi gaun yang ia pakai. Ia tengah memakai gaun Ibuku, gaun yang aku berikan padanya sewaktu di rumah Paman James. Itu adalah gaun-gaun berharga ibuku.

Nyanyian kiara mendadak berhenti. Gadis pirang itu langsung membalikkan badan dan menunduk. Sepertinya, dia menyadari keberadaanku yang mematung memperhatikan dirinya dari pintu kamarnya.

"Lanjutkan nyanyianmu," ucapku sambil melangkah masuk.

Siapa sangka, Kiara menuruti perintahku. Ia kembali melanjutkan nada indahnya. Bersamaan dengan itu, burung yang ada di sekitarnya ikut berkicau.

"Aku tidak ingin mendengar ocehanmu," gumamku pelan sambil menangkap salah satu burung itu.

Rupanya, tindakanku itu membuat Kiara terkejut dan memelototkan matanya. Ia berhenti menyanyi, lalu bergerak mendekatiku.

"Apa yang kau lakukan? Cepat lepaskan!" Dia refleks memegang tanganku yang tengah menggenggam burung kecil itu.

Mata birunya memandangku penuh kekesalan. Aku melihat ada api di sana.



*****

Kiara POV

Tangan yang penuh dosa itu menggenggam tubuh mungil temanku. Ya, burung kecil itu adalah temanku. Dia bukan burung biasa, dia adalah teman yang dikirim khusus oleh ibuku.

Aku dengan segera memegang tangannya untuk berusaha melepaskan temanku, namun saat aku menatap mata Charlie, aku malah terpaku. Aku terkunci ke dalam matanya.

Tangan Charlie perlahan melepaskan burung itu sedang matanya tetap menatap milikku. Saat aku menyadari tanganku masih menggenggam tangannya, buru-buru aku menarik tanganku, namun pria di hadapanku ini balik menggenggam tanganku dengan sangat erat.

Charlie menggenggam kedua tanganku dengan mata yang masih mengunci tubuhku. Perlahan, genggamannya mulai melembut. Tangannya yang satu lagi bergerak ke arah pipiku. Detik itu pula, napasku seakan terhenti.

Kini tangan itu sudah sampai di pipiku. Matanya masih menatapku tanpa berkedip, membuat tubuhku bergidik ketakutan. Aku hampir hilang akal dan menduga-duga apa yang akan terjadi, sampai tiba-tiba aku tersadar dan menjauh darinya.

"Jaga batasanmu!”

Napasku terengah-engah. Jantungku berdetak tak karuan dan pria di hadapanku ini justru mengulas senyum nakal.

Setelah beberapa detik saling diam, Charlie kemudian melangkah pergi dari ruangan ini. Dia keluar tanpa sepatah kata. Tanpa membalikkan badan untuk menoleh ke arahku.

Aku hanya diam memandang punggungnya yang kian lama kian menjauh. Sekilas, terbesit pikiran gila di kepalaku. Aku berpikir apa yang akan terjadi jika tadi aku hanya diam dan membiarkan Charlie membelai pipiku.

“ah, aku sudah gila!!!” seruku sambil memukul dahiku sendiri.

Seandainya, kita tidak terjebak menjadi makhluk seperti ini. Seandainya kita hanya manusia biasa. Seandainya aku datang lebih dulu dalam kehidupanmu. Seandainya itu terjadi, mungkin saat ini kita sudah bahagia di dalam sebuah rumah kecil dengan bau sup dan canda tawa, Charlie.

"Seandainya kau juga mencintaiku," gumamku tanpa sadar.



*****

Charlie POV

Pagi ini, upacaranya berjalan dengan lancar. Hoisa juga telah kembali dari tempat klan iblis. Dia dihukum karena telah mencintai seseorang dan sampai saat ini dia masih mencintai orang itu, Paman James.

Aku memikirkan ini, bagaimana bisa Hoisa tetap mencintai paman? Jika aku menjadi dia, aku akan marah, pergi dari sini, dan membalaskan dendamku suatu hari nanti. Cinta hanya akan membuat seseorang kerepotan. Hanya akan memberi rasa sakit.

Kenapa dia masih mencintai paman sebesar itu?

Sebagai permintaan maaf, aku memberikan dia sebuah keabadian, dimana dia akan hidup bersandingan bersama klan kami selamanya.

Abadi, bukankah itu yang diinginkan setiap makhluk di dunia ini? Tentu saja, itu dikarenakan mereka semua rakus dan tamak tanpa mereka tahu abadi artinya membeku selamanya.

Ya, tak ada masa depan atau apa pun itu karena semuanya akan tetap beku seperti ini. Tidak ada kemajuan dalam hidup, namun juga tidak bisa mundur. Dari pada keren, itu lebih terdengar ngeri.

"Charlie…" Bibi Hoisa memelukku agak lama, lalu menitikkan air mata.

Aku pun membalas pelukannya karena pelukan ini terasa seperti pelukan ibuku. Aku tak ingin melepaskannya hingga aku tersadar bahwa ini adalah Bibi Hoisa, bukan Ibuku.

"Sekarang kau sangat tinggi, padahal dulu kau sangat kecil saat kugendong." Ia tersenyum seraya memegang pipi kananku, sedang aku hanya menanggapinya dengan mengangguk.

Malam ini, bibi ingin kita semua makan malam bersama, seperti yang biasanya dilakukan sebelumnya, sebelum Ibu mati. Kami semua memulai makan malam dengan beberapa makanan lezat dan darah tentunya, hanya Kiara dan bibi Hoisa yang tidak memiliki darah di gelasnya.

Sejak makan malam ini dilangsungkan, aku tidak mengalihkan pandanganku sama sekali dari Kiara. Entah mengapa, wanita bergelar ratuku itu tampak mempesona malam ini. Auranya terpancar hebat, hingga membuatku tak bisa berpaling barang sedetik. Dia membuatku tak henti-hentinya tersenyum saat melihat wajahnya. Kagum.

Aku tahu hati wanita itu sedikit mengecil. Dia merasa bahwa dirinya hanya orang asing di sini. Itulah sebabnya mengapa dari awal, wanita itu hanya menunduk dan sedikit tersenyum tipis ketika Bibi Hoisa bercerita tentang pertemuan pertamanya dengan Paman James.

Dia sangat tenang, berbeda dengan wanita di sampingnya yang dari tadi bertingkah terlihat sedang berusaha mengambil hati Bibi Hoisa.

"Ekhem…"  Bibi Hoisa berdehem sambil sedikit tersenyum. "Rupanya, ada yang sedang kasmaran," lanjutnya.

Aku pun langsung memandang Bibi Hoisa. Betapa terkejutnya aku saat menyadari bahwa semua orang disini tengah menatapku.

Sial. Apa mereka melihatku yang sedang memperhatikan Kiara?

Bahkan gadis pirang itu juga tengah menoleh padaku saat ini, membuatku salah tingkah dan langsung melahap makananku dengan cepat.

Setelah itu, Bibi Hoisa kembali bercerita, kali ini kisah tentang ia dan Ratu Rossa, ibuku. Ia membuatku merasakan keberadaan ibuku lewat ceritanya. Kisah-kisah yang sudah aku lupakan, aku mengingatnya lagi berkat Bibi Hoisa.

Bibi mengingat sesuatu dan ia mengucapkannya di depan kami semua. Bibi mengatakan bahwa Ibuku pernah berkata, bahwa ia ingin menikahkan aku dengan Hellen suatu hari nanti.

Hellen, teman semasa kecilku. Gadis pendek yang cerewet dan suka memanjat bak kera.

Hellen. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Semenjak aku tinggal menjauh dari istana, aku sudah jarang bertemu dengan wanita itu. Terakhir kali adalah saat usiaku 97 tahun. Gadis itu masih sama, masih cerewet dan menyebalkan. Dia adalah teman yang baik.

Tunggu, itu dia. Hellen adalah teman yang baik.

"Tapi itu hanya ucapan iseng saja, karena dulu Charlie dan Hellen sangat dekat." Bibi lalu tertawa bersama Paman James. "Sudah, jangan dipikirkan, ayo lanjutkan makan," lanjutnya.

Aku meletakkan garpu dan pisau perakku. Suara alat makan itu membuat semua yang hadir di ruangan ini memandangku heran. Sedang mereka keheranan, aku meluruskan pandanganku ke depan. Aku tengah menemukan ide cemerlang.

"Paman, siapkan lamaran untuk besok. Aku akan melamar Hellen!"

.
.
.
Ayo vote!

I'm a MIXED BLOOD [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang