2 : Whatsapp

2.9K 187 8
                                    

Namaku Jenbin Niken Pena. Terdengar sedikit aneh bukan? Maksudku terdengar sangat aneh. Sekarang aku duduk di kelas 12, yang artinya tak akan lama lagi aku menjalankan kewajiban sebagai pelajar. Ketahuilah ini bukan kabar gembira. Aku senang disini, sangat senang.

Terkadang aku bisa jadi seorang yang sangat berani dan terkadang bisa jadi seorang yang sangat pemalu. Tergantung keadaan dan kondisi hati.

"Gilaaaa ganteng banget woy inii."

"Adek lemes bang!"

"Aaaahhhhh...."

"Saaaayaaanggggg!" teriak Dini

"Kira-kira kelas berapa yak?" tanyaku pada yang lainnya.

"Kayanya kelas 11 deh, tuh liat mereka lagi jalan ke arah tangga. Diatas kan koridor kelas 11," jawab Discha

"Yahhhh adik gemes," cercah Lail tiba-tiba dengan wajah yang cemberut.

Sumpah demi apapun, ini kenapa teman-temanku mendadak lebay semua? Aku akuin pria kacamata itu tampan dan terlihat menggoda. Tapi apa pantas dia dijadiin 'pujaan' ? Penampilannya oke, tapi bagaimana hatinya?

Tiba-tiba saja ingatan itu terlintas dipikiranku. Kembali membuatku untuk dengan tegas membatukan hati. Aku kembali duduk di bangkuku membiarkan mereka semua berbincang soal ketampanan pria kacamata itu.

"Kalian semua kenapa berdiri? Mau saya keluarkan?"

Suara bariton itu membuat kaku semua teman-temanku termasuk aku. Tapi tiba-tiba saja pikiran jahilku kembali muncul.

"Mereka tadi ngerencanain mau ngunci pintu biar Bapak ga masuk ke kelas Pak," ucapku dengan serius.

Semua menatapku tajam dan aku kembali sok serius menyalin soal dari buku.

***

"Yuk kantin, gangguin orang makan," ajakku pada Moza, Discha, Lail.

Pletak

"Aw.. sakit bego!"

"Gue ngecek otak lo doang Je," tangkas Discha saat aku melotot ke arahnya.

"Baru tau gue ngecek otak bisa digeplak doang. Entar gue coba dah." ujar Moza tiba-tiba.

Seketika kami bertiga memandang datar Moza yang sudah memasang wajah polosnya. "Ini anak polos apa goblok ya," batinku

Lail menarik tangan kiriku dan tangan kanan Discha. Kelihatan dari wajah Discha dan Lail kalau mereka kesal dengan kepolosan Moza.

"Eh kok pada ninggalin gue?" tanya Moza sedikit berteriak.

Sementara itu kami bertiga sudah berjalan dahulu ke kantin. Meninggalkan Moza dan kegoblokannya di kelas. Kami harus melewati koridor yang sudah pasti sangat ramai, tapi kami tak punya pilihan lain.

Mataku lagi-lagi tak sengaja menangkap sosok itu lagi. Ia tengah duduk di bangku panjang dengan gaya angkuhnya. Dengan satu kaki di atas tumpuan kaki lainnya ia berbincang dengan.. entahlah siapa itu.

Sialnya aku harus melewati pria kacamata itu. Tapi mau tidak mau, aku harus mengikuti kemana temanku membawa. Aku juga tidak mau sikapku ini menimbulkan kecurigaan bagi teman-temanku.

Saat aku tepat berada dekat dengan si pria kacamata itu, rasa itu timbul.

Rasa jijik..

Yang aku rasakan hanya keangkuhan, songong. Matanya saat menatap siapapun bukanlah mata yang aku cari selama ini, matanya cukup menyeramkan.

***

Hari ini akan ada sosialisasi dari sebuah lembaga sosial daerahku. Sekolahku mendapat kunjungan, itu membuatku yang notabenenya seorang anggota OSIS harus sibuk mempersiapkan tempat dan segalanya.

Kamu dan BandungWhere stories live. Discover now