42 : Telepon

289 30 2
                                    


"Kagak ngerasa bersalah lagi," ucapku tak habis pikir dengan bang Julian.

"Bodoamat! Gue mau masuk ke dalem, bye!" Ucap bang Julian.

Bang Julian langsung membuka pintu menggunakan kunci yang ia pegang tadi dan masuk ke dalam. Aku hanya bisa menghela saja. Sebenarnya aku tak tahan untuk tidak mengoceh lebih panjang lagi, apalagi sekarang aku tengah datang bulan. Tapi aku masih mengingat bahwa disini ada orang lain.

Aku menoleh pada Alfa dan Gibran, ternyata mereka dari tadi terus melihat aku yang marah-marah. Mereka pasti mengiraku adalah seorang perempuan yang galak, padahal tidak. Aku perempuan yang lemah lembut, anggun dan tidak grasak-grusuk.

Hahaha!

"Bentar yak, gue ke dalem mau ganti baju." Aku pamit dengan mereka. Aku melihat Gibran masih setia dengan kepulan rokok miliknya. Tapi mereka tetap menganggukinya saja.

Baru saja aku melepas sepatu dan meletakkannya di rak khusus sepatu, dering telepon rumah membuatku harus menghela. Aku dengan segera mengangkat panggilan.

"Halo.."

"Hai Jenbin, ini Paman yang di Jakarta."

"Oh Paman, ada apa menelponku Paman?"

"Katanya kamu sedang berulang tahun ya?"

"Iya Paman."

"Selamat ulang tahun ya Jen. Oh iya nanti kado dari Paman bakal dikirim ya."

"Iya Paman, makasi hehe."

"Gimana kelanjutan sekolahmu? Setelah lulus kamu mau lanjut kemana?"

"Jenbin mau coba UNIMED dulu Paman. Pengen ambil Sastra Indonesia."

"Lah, kenapa ambil itu? Di SMA kamu jurusan Ipa kan? Ambil kimia, fisika, biologi atau matematika dong."

"Tapi Jenbin ga minat kesitu. Jenbin udah suka sama Sastra Paman."

"Setelah lulus kamu mau kerja apa emang dari situ? Itu ga jelas, mending kamu ambil yang Paman bilang. Jangan ambil Sastra ya Jen."

Aku menghela, ini yang aku takutkan. Keinginanku dalam menentukan jurusanku sendiri akan ditentang. Di mata keluargaku jurusan yang bagus adalah jurusan yang memang berhubungan dengan Ilmu Alam. Padahal aku sama sekali tak tertarik dengan itu. Memang sih, aku menyesal di SMA ini masuk ke jurusan Ipa.

"Iya Paman."

"Kamu jangan ambil Sastra karena..........."

Dan yang terjadi selanjutnya adalah percakapan mengenai jurusan kuliah. Aku benar-benar tak diberi ijin untuk mengambil Sastra. Penjelasan yang diberikan Pamanku benar-benar panjang. Aku merasa sudah sangat lama aku duduk di samping telepon. Aku mengkhawatirkan Alfa dan Gibran yang tadi kusuruh menunggu.

Alfa tiba-tiba menyembulkan kepalanya di ambang pintu. Dan disitu tatapan kami bertemu. Dengan segera Alfa menghampiriku. Posisi telepon rumah dengan pintu masuk tak terlalu jauh.

Alfa langsung duduk di sofa yang berada dekat denganku. Dia menatapiku dan menggerakkan bibirnya.

"Masih lama ya?" tanyanya pelan. Aku mengangguk dan membuat Alfa mengerucutkan bibirnya kesal. Aku tertawa saja.

Aku tetap lanjut mendengarkan Pamanku bercerita di seberang sana. Bisa dibilang Paman memberiku wejangan untuk masa depanku. Dan Alfa masih setia duduk di depanku. Bedanya dia duduk di sofa sedangkan aku duduk di lantai. Aku memang suka duduk di lantai.

Aku melihat Alfa yang sudah terlihat bosan. Tapi Pamanku terus saja bercerita, tak mungkin juga aku mengakhiri obrolan ini.

Tiba-tiba saja Alfa menarik tanganku dan memeganginya. Dia memainkan tanganku dengan cara menggoyang-goyangkannya. Kubiarkan saja, mungkin ini caranya agak tak bosan.

Beberapa saat, Alfa lagi-lagi merengut kesal. Ini membuatku ingin tertawa tapi aku tahan. Akhirnya aku hanya bisa tersenyum geli saja. Alfa melepas tanganku tapi masih menatapku dengan ekspresi yang sangat kasian.

Aku langsung meraih tangan Alfa. Sejujurnya aku geli melakukan ini. Tapi aku tetap melakukannya, mencoba agar Alfa tak merasa bosan.

_____________________________

Gimana? Gimana?
Feelnya kurang dapet:"( maap dah hehe. Lagi ga mood nulis tapi tetep maksain nulis:)

Jangan lupa vote!

Pencet bintang disini
👇

Kamu dan BandungWhere stories live. Discover now