37 : Pangeran Anonim

299 35 0
                                    

"Gue nunggu di sini aja yak," ucapku pada mereka. Dan mereka mengangguk mengerti. Aku memang memilih untuk ikut saja, aku malas sendiri di kelas. Lagi pula kami mendatangi kelas 10 IPS 3, bukannya kelas Alfa.

Aku memilih menunggu mereka sambil memandang ke bawah, melihat orang-orang yang lewat dari lapangan sekolah. Aku menumpukan tanganku pada tembok pembatas.

Banyak yang aku pikirkan sekarang. Salah satunya, besok adalah hari ulang tahunku. Aku sama sekali tak memikirkan hadiah atau pun perayaan megah, sama sekali tidak. Aku hanya berpikir bahwa ini adalah ulang tahun pertama tanpa ayah. Ayah meninggalkanku tiga minggu sebelum hari istimewaku. Dan sekarang hari itu tak menjadi hari istimewa bagiku.

Aku juga memikirkan ibu, dimana dia sekarang?

Aku ingin ibu ada di sini, bersamaku, mengucapkan kalimat Selamat Ulang Tahun untukku. Mungkin itu akan menjadi hadiah Ulang Tahun termanis di tahun ini. Tapi sayangnya tak ada sedikit pun kabar darinya. Bahkan nomornya selalu tidak aktif, ini membuatku sedikit khawatir.

"Hey! Ngelamun mulu," tegur seseorang. Aku tersentak dan menghela napasku lega ketika melihat Alfa yang ternyata mengejutkanku. Andai saja tadi malaikat pencabut nyawa, mungkin aku akan mengikuti kemana pun ia mengajakku.

"Ga ngelamun, cuma mandangin nih sekolah doang," ucapku sambil melihat kembali ke tengah lapangan. Aku juga kembali menghela napas, aku tak tau sudah seberapa sering aku menghela. Mungkin orang-orang juga sudah menganggapku si tukang mengeluh. Namun memang ini lah kenyataannya, hidupku hampa.

Aku dan Alfa sejenak terdiam dengan pikiran masing-masing. Rasanya aku ingin segera turun ke bawah, atau kalau boleh aku ingin melompat saja dari atas sini. Sayangnya aku akan mati konyol, jadi aku tak mau melakukan ini.

"Ciee.. besok ulang tahun," ucapnya sedikit menggoda.

"Ck, apaan sih. Hari ini atau besok, sama aja, sama-sama kosong," ucapku lagi-lagi merasa hampa.

"Jen, yuk balik. Oh atau lo masih mau disini?" tanya Discha yang ternyata sudah selesai dengan urusannya. Dengan segera aku menggeleng cepat menanggapi pertanyaan Discha.

"Yuk," jawabku cepat.

Aku berjalan menuju ujung koridor dan menuruni sebuah tangga. Aku tak menoleh lagi ke belakang, aku ingin cepat-cepat ke kelas.

***

Disini aku sekarang, ruangan minimalis dengan cat warna biru yang sudah menjadi tempat paling nyaman di dunia. Kamar ini menjadi saksi bisu setiap kejadian yang aku alami, mau itu mengenakkan atau pun tidak. Aku sudah menumpahkan berliter-liter air mata disini.

Yang aku lakukan sekarang hanya duduk memandangi jendela kamarku. Kasurku memang berhadapan langsung dengan jendela. Aku masih bisa melihat langit dari posisi ini, hal yang aku suka.

Sekarang sudah pukul 20.18 WIB. Belum terlalu malam untuk tidur, jadi kuputuskan untuk sekedar menulis.

Aku segera berjalan menuju meja belajarku, mengambil buku yang sering menjadi media aku bercerita. Aku membuka lembar demi lembar, hingga aku mendapat lembaran putih yang kosong. Tanganku meraih sebuah pulpen yang terletak begitu saja di atas meja belajarku. Dan aku mulai menulis.


Pangeran..
Beritahu aku bahwa ada alasan untuk
aku tetap hidup.
Beritahu saja, kau tak perlu berpura-pura
mengajukan diri menjadi tamengku.
Aku terbiasa berlindung di balik kulitku.


Aku menutup bukuku dan menyimpannya di balik meja belajar ini. Aku tak mau siapa pun membukanya, bahkan orang-orang di rumah ini.

"Jennnnnn!"

Ada yang memanggilku. Ya benar, itu bibiku. Tadi pagi dia datang sendirian, katanya ingin mengambil beberapa barang yang tertinggal. Aku rasa dia memang benar-benar akan sangat jarang disini. Biarlah, aku sudah terbiasa.

Aku berjalan keluar kamar menuju kamar bibi dengan malas, aku benar-benar malas hari ini. "Ada apa, bi?"

"Lama sekali kamu!" tukasnya

"Lagi belajar tadi," jawabku berbohong. Kurasa aku memang harus berbohong, karna jika aku jujur mungkin saja dia akan memarahiku.

"Badan bibi pegel, dan besok bibi udah harus pergi lagi. Kamu pijitin bibi bentar ya," ucapnya. Itu pastilah perintah bukan permintaan. Aku mengangguk saja.

"Aku mau buang air kecil dulu bentar bi," ucapku lalu meninggalkan kamarnya.

Aku berjalan memasuki kamar mandi, aku tak buang air kecil. Aku hanya ingin membasuh muka.

Jangan lupa vote!
P

encet bintang disini

👇

Kamu dan BandungWhere stories live. Discover now