11 : Trouble

539 73 1
                                    

Kang tipu : abang ojolnya masih jauh, tunggu bentaran katanya

Jejen : oh gitu, ga masalah sih yang penting gue bisa pulang

Setelah itu aku beralih menatap jalanan yang dilewati motor ataupun mobil. Terkadang aku melihat becak lewat namun semua penuh dengan penumpang.

Sekolahku berada di dalam sebuah jalan dan tak dilewatin angkutan umum lain seperti angkot atau pun bus. Harus berjalan sekitar 500 meter untuk mendapat angkutan umum.

Aku duduk menghadap jalanan, lalu melihat sebuah motor dari jauh yang tengah bergerak mengarahku. Kurasa ini ojol yang sudah dipesankan oleh Alfa. Lampu motor itu cukup menyilaukanku sehingga membuatku harus menyipitkan mata.

"Gaul banget ni bapak pake earphone," batinku

Hingga ketika motor itu berhenti tepat di hadapanku, aku terkejut. Itu Alfa.

"Lah kok lo," ucapku terkejut.

Dia menyengir tapi kemudian selanjutnya tersenyum. "Ayo," ajaknya.

Lalu aku berjalan mendekati motornya dan naik ke atasnya. Jujur aku masih terkejut sekaligus bingung. Alfa pun melajukan motornya santai. Angin berhembus dan ketika itu juga parfumnya tercium olehku. "Wangi banget gila," aku membatin

Yang kulakukan hanya diam dan memperhatikan setiap pengendara di jalanan. Dia pun begitu, sepertinya dia sedang fokus pada jalanan. Aku sempat mendengarnya bergumam tapi aku diam saja. Aku tak bisa mendengar jelas.

"Eh liat deh kucingnya kasian banget," ucapnya tiba-tiba membuatku melirik sekeliling.

"Mana?" tanyaku reflek sambil mencari.

"Mana? Kok ga ada," ucapku lagi.

Namun yang kudengar selanjutnya malah suara tawa darinya. Ah sepertinya aku tertipu olehnya, dasar tukang tipu.

Setelah masuk ke dalam jalan rumahku, aku menunjuk ke arah depan kanan untuk ia berhenti. Aku mencoba memberitaunya soal rumahku, mengingat dia tak pernah kesini dan ini adalah pertama kalinya.

"Aku udah tau kok," ucapnya.

"Tau darimana? Lo kan ga pernah kesini," ucapku heran ketika aku turun dari motor saat sudah sampai.

"Ada deh," jawabnya geli.

"Yauda masuk gih," sambungnya.

Aku mengangguk kemudian beralih membuka gerbang rumahku dan masuk. Aku bisa melihatnya dari balik pagar ini, aku mengisyaratkannya untuk pulang.

"Daahhh," pamitnya dan langsung tancap gas.

Aku berjalan masuk ke dalam rumah, membuka pintu dan menarik napas panjang sebelum menghela. "Back to real life Jen," batinku.

Entahlah mengapa aku bisa mengucapkan itu. Aku semakin keras untuk membatukan hati, seolah membentengi hati dari setiap orang-orang yang aku rasa akan menyakiti. Atau bahkan dari hal-hal yang akan menyakitkan nantinya.

Aku membuka sepatuku dan melemparkannya dengan asal, tak peduli jika berantakan, karena tak akan ada yang memarahiku disini. Aku hanya tinggal berdua dengan Abang kandungku. Sebenarnya kami tak benar-benar berdua, sesekali kakak sepupu aku datang, atau bibiku.

Dari kelas dua sekolah dasar aku dan abangku memang sudah pindah kesini, itu semua karena keegoisan orangtua kami. Aku dulu sempat merutuki takdirku yang seperti ini, tapi belakangan ini aku sudah mulai memaafkan mereka, walaupun tak sepenuhnya.

Ayah dan ibuku terkadang mengunjungi kami, tapi mereka tak bersama. Misalkan, hari ini giliran ayah, dan ibu akan datang sebulan setelahnya. Mereka selalu datang dengan membawa makanan yang banyak, aku tau mereka melakukan ini pasti ingin membuat aku dan abang berpikir bahwa mereka tak pernah melakukan kesalahan.

Biarkan saja seperti itu, sekarang aku sudah lebih ikhlas menerima takdir.

***

Saat ini adalah mata pelajaran Bu Riris, guru kimia di kelasku. Oke dulu aku menyukai cara mengajarnya yang sesekali diselingin candaan darinya tapi semakin lama semakin membosankan. Beliau jarang membuat lelucon seperti dulu, sekarang beliau terlihat lebih serius dan tak jarang mencubit dan memarahi kami. Ya aku tau, itu karena kesalahan kami sendiri. Secara pribadi aku jadi kurang menyukainya dalam mengajar, banyak pelajaran yang terlewat olehku. Itu membuatku jadi susah mengejar ketertinggalan dan membuatku malas untuk mengerjakan tugas darinya.

Teetttt teeettt

Bel sekolahku sudah berbunyi, berarti sudah saatnya perutku diisi oleh makanan-makanan.

"Sabar yak peruttt, ini on the way kantin," ucapku pelan pada perutku sendiri

Aku melewati ambang pintu bersama Moza dan Discha, Lail menolak saat kami ajak, ia ingin mengerjakan tugas yang tadi diberikan Bu Riris.

Tapi ketika baru saja melewati beberapa langkah dari kelas, kami melihat ada kerumunan di lantai atas kelas Alfa. Kami berhenti dan memperhatikan dari bawah, aku melihat seorang siswi kelas 12 baru saja keluar dari kelas Alfa. Siswi itu keluar bersama pacarnya yang merupakan alumni sekolahku. Bagaimana bisa alumni itu bisa masuk ke kawasan sekolah? Ah bukan itu pertanyaannya.

Aku melihat siswi itu turun melalui tangga dengan ekspresi marah. Ia melewati lapangan menuju kelasnya yang berada di ujung koridor, ia juga diikuti beberapa siswi yang merupakan teman sekelasnya.

Aku dan teman-temanku adalah perempuan biasa, yang akan heboh dengan urusan begini. Kami memutuskan menunda urusan perut, kami lalu berjalan menuju kerumunan di depan kelas siswi itu. Sekarang koridor sudah sangat-sangat ramai.

Aku, Moza dan Discha mencoba mencari cela untuk masuk dan melihat lebih dekat namun sedikit sulit. Tapi aku sempat melihat dan mendengar siswi kelas 12 itu sedang marah pada siswi kelas 11 yang notabenenya adalah teman sekelas Alfa. Aku melihat siswi kelas 11 itu membela diri dengan sedikit menyentak. Aku juga melihat siswi kelas 12 itu memaki teman lelakinya yang merupakan teman sekelasnya. Lelaki itu adalah sepupu Alfa. Hingga akhirnya siswi kelas 12 itu pergi bersama siswi kelas 11 dan juga ada beberapa yang mengikut seperti, sepupu Alfa.

Disini tertinggal teman-teman perempuan dari siswi kelas 12 tadi dan ada beberapa dari kelas lain yang ingin melihat sama seperti kami. Sekarang kami sedikit maju untuk mendengar penjelasan lebih jelas.

"Nah lo Jenbin, lo lagi deket kan sama Alfa. Ingetin dah tuh si Alfa gausah gatel jadi cowo, ati-ati aje lo," ucap salah satu teman siswi kelas 12 itu

Aku tersontak, orang-orang di sekeliling jadi ikut menatapku. Aku gelagapan ketika harus ditatap seperti itu oleh orang banyak.

"Gue cuma temenan sama Alfa, karna kebetulan kami punya hobi yang sama," ucapku sambil mencoba menenangkan diriku. Aku menjawab dengan sangat jujur.

"Emang ada masalah apa sih?" tanya Discha membuatku menghela napas lega.

Siswi-siswi itu menjelaskan dengan santai, dan kami hanya mengangguk paham.

Alfa mengganggu dan menggoda siswi kelas 12 tadi melalui whatsapp, Alfa juga mengirim sebuah stiker yang tak pantas. Namun Alfa mengaku itu adalah kerjaan teman perempuan sekelas Alfa yang tadi beradu mulut dengan siswi kelas 12.

Aku memikirkan hal ini kemudian mengajak Moza dan Discha kembali ke kelas yang langsung diangguki oleh Moza.

"Gue mau disini bentaran, gue mau coba caritau lebih dalem lagi," ucap Discha yang membuat kami memutar bola mata malas

Akhirnya aku dan Moza kembali ke kelas, aku sudah tak memikirkan soal perutku. Namun ketika aku berjalan melalui koridor menuju kelasku, aku melirik ke atas yang sudah ada Alfa sedang berdiri. Dia tengah menatapku dengan lesu, aku tersenyum tipis kemudian masuk ke dalam kelas.

Aku masih melihatnya dari balik jendela, ia tampak berantakan, kelihatan dari wajahnya. Aku juga melihat ia berbicara serius dengan temannya. Aku bingung harus melakukan apa sekarang.

Jangan lupa vote!

Ini kisah nyata yang aku tulis kembali ke dalam sebuah cerita. Nama-nama disini sudah aku samarkan demi kenyamanan semua.

Pencet bintang disini
👇

Kamu dan BandungWhere stories live. Discover now