15. Salah paham

13.3K 1.5K 27
                                    

Mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke kediaman permaisuri. Kembali ke rumah gubuk yang sangat sederhana dengan Royden sang Dewa kematian yang mengikuti. Merasa kelelahan akibat aktivitas seharian ini, mereka semua memutuskan untuk bermain dan bersantai di sungai dekat air terjun yang mengalir dari gunung gaxia.

Sungai yang sangat asrih dengan air yang mengalir ditambah bebatuan alami yang berceceran menambah kesan segar dalam diri mereka terlebih pada Niura yang sedari tadi membanding-bandingkan sungai gaxia dengan sungai di kehidupan sebelumnya yang dipenuhi bebatuan cor dan airnya yang sudah tidak jernih, membayangkannya membuat Niura sangat cinta keadaan di sini dan sangat bersukur bisa berada di sini dengan orang-orang yang ia sayang, kecuali pria itu.

Setelah lama bermain air, mereka semua kembali pulang ke rumah gubuk di tengah hutan. Berpisah menuju kamar masing-masing kecuali Royden yang memilih tidur di ruang dimensi lain miliknya. Namun sebelum itu, Royden memutuskan untuk menunggu istrinya tidur terlebih dahulu.

Niura menghela napas jengah melihat sang Dewa kematian sekaligus sang Raja Naga yang sedari tadi mengoceh di pinggir ranjangnya membuatnya semakin tidak ingin tidur.

"Istri ... mengapa sedari tadi kamu tidak tidur?" ucap sang Raja Naga sambil mengelus-elus kening Niura.

Niura membalikkan badannya berbaring menghadap Royden di belakangnnya. "Berhenti memanggilku dengan sebutan istri! Aku menikah denganmu saja tidak pernah, lalu dimana alasan untuk mu memanggilku begitu?" Tangannya mengepal, giginya menggertak. Niura sebenarnya sangat ingin untuk memukul pria di hadapannya, namun itu percuma. Karena jika ia memukulnya, maka lengannya sendiri yang akan sakit karena yang di hadapannya ini hanya roh Royden saja. Sementara tubuhnya telah terlelap nyenyak di ruang dimensinya.

"Istri---

"Enyah!" Niura kembali membalikkan tubuhnya berusaha untuk menghindari kontak mata yang akn membuatnya semakin marah saja.

"Tapi kau harus mengerti ...." Royden kembali mengelus rambut biru bercampur merah milik Niura dengan tatapan bersalah.

"Mengerti apa? Jangan karena kau telah membantuku menyucikan roh ku yang kotor ... lalu kau seenaknya menggangguku setiap saat. Menghasut ibuku agar dia menerimamu? Hei ... kau sadar! Aku ini manusia sungguhan! Bukan naga ataupun seorang Dewi yang pantas dicintai seorang Raja Naga sekaligus Dewa seperti mu?"

Cairan bening mengalir di pipi mulus Niura dengan derasnya dengan Niura yang sesenggukkan. Royden yang ingin menyeka air mata tersebut merutuki dirinya sendiri karena tubuhnya yang tembus pandang bahkan ia tidak bosa memegang apapun saat ini.

Royden menghela, "Aku tidak akan menentangmu lagi jika kau menginginkan kebebasan. Hanya satu yang ku inginkan saat ini, aku ingin kau menerimaku untuk selalu berada di sampingmu, setiap saat. Entah saat kau mengetahuinya atau tidak.
Aku tidak akan membencimu walaupun ku tau, bahwa kau adalah perantara yang akan membunuhku, selamanya."

Niura menegang mendengar ucapan tulus Royden, saat ia berbalik untuk berucap, sosok itu sudah tidak ada meninggalkan kabut hitam seperti biasanya membuatnya merasa semakin bodoh.

"Aku memang telah membunuhmu di kehidupan sebelumnya, namun ... apakah aku pula yang akan membunuhmu kembali? Jika aku tau ini, maka aku tidak akan pernah meminta kepada tuhanku dulu untuk mewujudkan cita-citaku untuk terlahir kembali seperti cerita novel yang pernah ku caci maki waktu itu ...." Niura menangis sesenghukkan, memeluk bantal guling lalu memukul-mukul bantal itu dengan membayangkan bahwa bantal itu adalah dirinya sendiri.

Niura terduduk dalam tidurnya, ia menatap langit malam dari celah-celah bilik kayu kamarnya yang usang. Bisik-bisik jangkrik memenuhi indra pendengarannya, matanya yang mengantuk kini terbuka lebar, merasa tidak ada suasana hati untuk tidur.

Princess of Rainbow Element [Repost]Where stories live. Discover now