Ch. 20: Wake up call

14.2K 1.6K 63
                                    

LUNA

Setelah satu minggu ini menghindari Damar, tidak membalas pesan maupun mengangkat telepon darinya, aku sadar kalau aku tidak bisa lagi menghindar darinya ketika melihat mobilnya sudah terparkir di depan lobi kantorku. Dia tidak mengirimkan pesan bahwa hari ini dia akan menjemputku. Mungkin sengaja karena dia tidak ingin aku diam-diam kabur demi menghindarinya. Damar keluar dari mobilnya dan detik itu pula aku tahu kalau aku tidak memiliki pilihan selain memasuki mobilnya dan pulang dengannya jika tidak ingin menimbulkan keributan di depan gedung kantorku sendiri.

"Mau makan malam dulu?" tanya Damar setelah mobilnya melaju.

"Aku nggak lapar. Nanti aku bisa masak atau pesan di apartemen," tolakku.

Sejujurnya aku masih tidak nyaman berada di dekatnya. Pelampiasan emosinya kepadaku terakhir kali berhasil membuatku mengkerut ketakutan di jok mobilnya. Biasanya aku selalu berusaha membangun obrolan dengan Damar ketika kami bertemu—meski selalu berakhir dengan pertengkaran. Kali ini, aku memilih untuk menutup mulut, tidak ingin memulai pembicaraan apa-apa karena takut salah berbicara.

"Kenapa diam aja?" tanyanya lagi setelah tiga puluh menit berkendara tetapi aku masih tidak berbicara dengannya. "Biasanya tanpa aku mulai duluan kamu udah nanya macem-macem, cerita ini-itu."

Aku menoleh sekilas sebelum membuang pandangan keluar jendela. "Nggak tahu mau ngomong apa."

"Kamu masih marah?" tanya Damar lagi dengan suara yang terdengar jengkel. "Kamu itu kekanakan banget, Lun. Masalah udah lebih dari seminggu, tapi kamu terus-terusan ngambek nggak jelas kayak gini. Emangnya aku nggak capek harus ngebujuk kamu terus sejak minggu lalu?"

Tanganku yang berada di atas paha langsung mengepal begitu mendengar omelannya. Sungguh, di detik ini, aku benar-benar tidak mengenal Damar. Kemana perginya Damar yang dulu berhasil membuatku jatuh cinta dan berjanji tidak akan pernah menyakitiku? Tidak ingin membuat suasana semakin pelik, aku hanya berkata singkat. "Nggak marah. Cuma lagi capek."

Tapi, bukannya mereda, emosi Damar semakin naik. "Kamu pikir aku nggak capek harus jemput kamu di kantor? Kamu tahu kan, kalau aku harus ambil jalan memutar demi jemput kamu? Aku sengaja jemput kamu dengan harapan kamu senang dan bersikap biasa lagi, tapi sikapmu malah begini. Kamu nggak bisa menghargai aku, ya?"

Aku menggigit bagian dalam pipiku begitu mendengar Damar terus mengomel hingga mobilnya sampai di kawasan gedung apartemenku. Ketika mobilnya berhenti di parkiran kosong yang ada tidak jauh dari lobi, aku segera keluar dari mobil tanpa berpamitan maupun mengembalikan segala ucapan buruknya kepadaku. Namun, belum sempat aku berjalan menjauh, Damar sudah menarik tanganku dengan keras, membuatku tersandung kakiku sendiri, nyaris terjatuh tapi Damar sudah mendorongku hingga punggungku menghantam pintu mobilnya.

Ringisan pelan lolos dari bibirku begitu aku merasakan sakit di punggungku. Aku menatap Damar tidak percaya sedangkan laki-laki itu menyorotku penuh amarah.

"Mau menghindar dari masalah lagi? Mau diemin aku lagi? You need to grow up, Luna! Kalau ada masalah itu diselesaikan, bukan malah kabur-kaburan kayak begini," cerca Damar dengan nada rendah. Genggamannya di pergelangan tanganku semakin kencang. "Kamu kenapa, sih? Seminggu ini kamu nggak mau balas chat-ku. Teleponku juga nggak diangkat. Aku udah berusaha ajak kamu ngobrol tadi, tapi kamu males-malesan jawabnya. Ada masalah kamu?"

"Sakit!" Aku meraung keras dengan air mata yang sudah keluar dari kelopak mataku. "Sakit! Lepasin tanganku!"

Damar terkesiap ketika mendengar teriakanku. Dia melangkah mundur seraya melepas pegangannya di pergelangan tanganku. "Aku—" perkataan Damar terhenti ketika aku menundukkan kepala dan menangis sesenggukan. "Aku minta maaf. Ya Tuhan, Lun. Aku minta maaf karena udah nyakitin kamu. Maaf. Mana yang sakit? Aku lihat sini. Luna, aku minta maaf. Aku—"

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now