Ch. 18: Who did this to her?

14.3K 1.8K 36
                                    

AKSA

"For god's sake! Ini masih hari Senin, harus banget kita ngumpul-ngumpul sampai malam di saat besok mesti ngantor lagi?" Aku langsung menyambar ketika Lisa dan Adam sudah sampai, dengan dua tangan penuh dengan paper bag, sengaja tidak memberikan mereka kesempatan untuk menyapa. "Gue besok masih harus ngantor jam sembilan. Nggak kayak lo berdua yang cuti sampai minggu depan."

Namun, mereka sama sekali tidak tersinggung dengan keluhan yang kuutarakan. Mungkin efek setelah honeymoon ke Swiss dua minggu yang lalu, dilanjut dengan weekend getaway ke Singapura akhir minggu lalu. Lisa yang biasanya akan mengomel ketika menghadapi situasi seperti ini, justru hanya tertawa dan menjulurkan lidahnya. Seperti anak TK yang sedang meledek temannya. Malam ini, Lisa mengajak kami bertemu untuk memberikan oleh-oleh dari Swiss dan Singapura.

"Ya, kalau lo mau pulang silakan aja," imbuh Lisa setelah duduk di kursi kosong yang ada di depanku. Dia menaruh paper bag yang tadi dia bawa dan mengangsurkannya kepadaku dan Haris. "Ini oleh-oleh kalian. Yang sibuk dan mesti lembur, boleh langsung balik." Lisa menggodaku dengan alisnya yang bergerak, lalu beralih ke arah Haris. "Yang mau stay buat dinner boleh banget. Gue sama Adam yang bayar."

Haris terpukau. "Wow. Serius dibayarin?"

"Thank you." Aku cengengesan sambil meraih oleh-oleh itu, mengintip ke dalamnya. Isinya kebanyakan cokelat. I'm not a fan of chocolate. Kemungkinan oleh-oleh ini akan habis dimakan Anye dan Mama. "Kalau dibayarin, sih, gue rela stay di sini sampai pagi. Lumayan bisa dinner gratis di restoran kayak begini."

Kapan lagi bisa makan italian food gratis di restoran yang harga satu porsi makanannya setara jatah makan siangku selama dua hari?

Lisa memutar kedua bola mata, memasang wajah malas. "Pergi sana!"

"Kalau ada alasan buat stay, kenapa harus pergi?" Aku menyeringai di akhir kalimat. Beruntung kami duduk berhadapan sehingga aku tidak perlu menjadi korban dari pukulan-pukulan mautnya. "Gimana Swiss?"

"Begitu-begitu aja," ujar Adam acuh tak acuh.

"Halah!" celetuk Haris diiringi tawa bebas. "Kebanyakan di hotel, ya, daripada sightseeing? Bisa-bisanya liburan ke Swiss dibilang begitu-begitu aja. Swiss itu bukan puncak yang bisa lo kunjungi seminggu sekali."

Aku menutup wajah dengan sebelah tangan, menyembunyikan tawa yang nyaris keluar dari bibir. Wajah Lisa memerah sementara Adam terlihat salah tingkah, tapi dilihat dari cengiran di wajahnya, aku bisa menarik kesimpulan kalau ucapan Haris ada benarnya. Sedangkan Haris? Yeah, seperti biasa, laki-laki itu hanya memasang tampang tidak berdosa.

"Urusan ranjang orang nggak usah dibahas di tengah forum." Aku menegur Haris, yang seperti biasa, rem mulutnya blong. Bahkan, aku ragu mulutnya itu punya fitur rem. Bertahun-tahun berteman dengannya membuatku sadar kalau terkadang dia itu harus dikendalikan sebelum menyinggung orang lain atau memicu perang dunia ketiga.

"Kok tumben nggak lembur, Sa?" tanya Adam, mengalihkan pembicaraan.

"Proyek gue kebetulan udah selesai jadinya kerjaan nggak begitu banyak."

Aku meringis begitu mengingat minggu kemarin selalu lembur sampai pagi di kantor karena deadline semakin dekat. Seluruh timku nyaris tumbang di akhir minggu kemarin akibat proyek merger salah satu perusahaan properti yang lumayan menyita waktu.

"Pantesan bisa tenggo," gumam Adam.

"Gue juga berani lembur sampai pagi kalau uang lemburnya segede Aksa. Apalagi makan malam dan taksi di-reimburse kantor," celetuk Haris. "Apalah daya gue yang lembur sampai malam tapi uang lembur turunnya susah banget."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now