Ch. 35: Her fears

13.2K 1.3K 26
                                    

LUNA

"Lo ngapain ngecekin HP terus?" protes Lisa kesal. Setelah menemaniku semalaman kemarin, dia kembali datang hari ini sepulang kerja karena Mama dan Papa ternyata baru bisa pulang besok dari luar kota. "Gue laporin ke Aksa kalau lo masih ngecek kerjaan. Biar diomelin lagi kayak kemarin."

Aku merengut lalu menaruh ponselku di meja karena dugaannya tidak bisa kupatahkan. Aku memang baru saja mengecek grup kantor untuk mengetahui progress proyek-proyek yang masih berjalan. Sesekali aku menjawab di grup ketika Mas Jero bertanya mengenai pekerjaanku yang sementara dia handle karena Hanifa dan Dewa sudah overload. Meski pertanyaan yang diajukan Mas Jero itu tidak tertuju kepadaku, aku masih tetap menjawabnya. Mas Jero sampai mengancam akan mengeluarkanku dari grup untuk sementara waktu agar aku bisa fokus pemulihan ketika aku masih aktif menanggapi segala pertanyaannya.

Mataku menatap lurus ke langit-langit ruangan rawat inapku. Aksa mengabari kalau hari ini dia tidak bisa datang menjenguk karena harus lembur. Sebagai gantinya, dia berjanji akan mengunjungiku di apartemen sepulangnya aku dari rumah sakit. Teringat sesuatu, aku memperbaiki posisi ranjangku agar aku bisa duduk.

"Lis," panggilku lirih sementara Lisa yang sedang menggulir layar ponsel untuk memesan makanan akhirnya mendongak. "Kok lo nggak nanya apa-apa?"

Lisa menatapku balik. "Tentang apa?"

Aku mengulum bibir. "Aksa."

"Oh, itu." Lisa mengangguk beberapa kali kemudian fokus pada ponselnya lagi. Aneh. Biasanya dia yang paling bersemangat kalau sudah membahas hal-hal seperti ini. Dia yang selalu mendesakku untuk berbicara dengan menggebu-gebu. Ketenangannya tampak beribu kali lipat jauh lebih mencurigakan. "Adam udah peringati gue buat nggak nanya apapun tentang kalian. Waktu terakhir kali kita teleponan itu dan lo ngomel-ngomel, Adam juga ngomel ke gue karena terlalu ikut campur."

"Oh." Aku menyahut singkat dengan perasaan yang sedikit gamang.

"Kenapa? Kecewa karena gue nggak nanya?" ledek Lisa.

Aku mendengus sebal.

"Well, since you mentioned about it first, I guess you wanna talk about it, don't you?" Lisa menaruh ponselnya di atas meja. Mungkin sudah selesai memesan makanan atau dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyuarakan pertanyaan yang hinggap di pikirannya. "Dimulai dari mana, ya?" Lisa mengelus dagunya. "Kita mulai dari liburan tujuh tahun lalu ke Malang kali, ya?"

This is it. Aku meremas jari-jariku sendiri lantas membuang pandangan. "I got caught up in the moment."

"Lo naksir dia, Lun?"

Aku mengangkat bahu. "Sort of."

"Kenapa lo nggak bilang ke gue?" tanya Lisa dengan nada tinggi, tampak kaget. "Gue emang pernah nebak kalau kalian ada apa-apa, tapi waktu itu Aksa kan, masih sama Amanda—eh, waktu itu udah putus tapi dia nggak bilang siapapun—wait! Gue nggak ngerti, Lun. Gimana caranya lo bisa suka sama Aksa pas semua orang masih ngira dia punya pacar? Dia cerita ke lo kalau dia udah putus?"

Aku menggeleng pasrah. "Dari awal gue justru nggak tahu kalau Aksa punya pacar, Lis. Sama kayak kalian—gue juga clueless, nggak tahu apa-apa sedangkan selama liburan, dia... begitu, lah. Gue sempat ngaku kalau gue baper sama dia—" Lisa menganga lebar. "I know I was stupid. Seharusnya gue nggak ngomong begitu, tapi gue nggak bisa mikir apapun saat itu. Dia bilang, dia cuma anggap gue sebagai teman."

"Kenapa selama ini lo diam aja dan nggak cerita apapun?"

"Gue malu," akuku, tertawa kaku. "Itu kan, sama aja kayak gue ditolak."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now