Ch. 37: Trust and honesty

12.4K 1.2K 52
                                    

LUNA

Butuh waktu yang tidak sebentar bagiku untuk menenangkan diri setelah mendengar kalimat itu meluncur halus dari bibir Aksa. Aku masih bisa merasakan basahnya jejak air mata ketika Aksa menyuruhku duduk di sofa, berhadapan dengannya. Dia tidak lagi memelukku, justru menciptakan jarak yang cukup luas di antara kami. Dari posisinya yang berada di ujung sofa, dia menatapku lurus. Aku menggigit bibir bawahku dan menundukkan kepala pasrah begitu mata kami bertemu. Aku tahu dari pandangan itu, dia menyimpan kekecewaan. Mungkin tidak besar, tapi nyata adanya.

"Kamu mau jelasin sendiri? Atau perlu aku tanya?"

Aku mendongak ketika Aksa membuka suara setelah hening yang cukup lama. Aku tahu ini tidak akan mudah—pembicaraan ini.

"Karena kamu masih diam, aku aja yang tanya," putus Aksa. Ada jeda yang cukup panjang hingga akhirnya dia kembali berbicara. "Aku nggak akan nanya apa isi obrolan kamu sama dia. Itu privasi kamu. Aku masih mau hargai itu—kecuali kamu sendiri yang mau cerita. Yang mau aku tanya, kenapa kamu bohong? Takut aku marah dan cemburu? Atau ada alasan lain?"

Usahaku untuk meredakan tangis terasa sia-sia begitu mendengar nada suara Aksa yang lembut, jauh dari nada menghakimi meski aku tahu dia tidak setuju dengan perlakuanku. Namun, aku tahu tangisan tidak akan membuat pembicaraan ini selesai sehingga aku berusaha menahan sekuat tenaga dengan cara menggigit bibir dan menghela napas berulang kali.

"Karena aku nggak mau kamu lihat aku ada di kondisi kayak gini," tuturku. Aku memainkan gulungan tisu yang ada di tanganku. "Aku nggak bisa menutupi di depan kamu kalau bertemu sama Damar ternyata masih mempengaruhiku sehebat itu. Don't get me wrong. Aku udah nggak ada perasaan apa-apa lagi ke dia. Tapi, setiap ketemu dia, aku jadi ingat semua sikapnya ke aku. Omongan terakhirnya sebelum kami resmi putus, dan setelah semua yang dia lakuin—" Aku tertawa miris saat sekelebat pembicaraanku dengan Damar melintas di pikiran. "He wants me back. Masuk akal nggak sih, Sa? Setelah dia nyakitin aku begitu, sekarang dia mau aku kembali dengan alasan hidupnya udah settle."

Aksa yang masih mempertahankan tatapannya, bertanya. "How do you feel?"

"Not good, obviously." Aku mengakui. "Walaupun aku nggak punya rencana buat balikan sama dia, tetap aja omongan itu bukan hal yang mau aku dengar."

"Kenapa kamu nggak mau ngomongin tentang dia ke aku?"

Aku menghela napas lalu memalingkan pandangan. "Karena ngomongin tentang Damar buat aku teringat kalau lagi-lagi aku pernah gagal mempertahankan hubunganku setelah aku taruh kepercayaan yang besar ke dia. Dan entah kenapa ngomongin tentang hubunganku dulu sama kamu terasa lebih berat, Sa."

Aksa mengernyit. "Aku pikir kita udah saling terbuka satu sama lain."

"Emang udah." Aku membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba terasa kering. "Tapi, aku takut berharap terlalu tinggi dan berujung kecewa. Aku takut banyak menaruh harapan ke kamu setiap aku membuka diri ke kamu."

Kerutan di dahi Aksa semakin dalam. "Boleh tolong dijelasin maksudnya gimana?"

"I'm afraid," lirihku. "Aku takut akan ada masanya kamu punya pikiran yang sama dengan Damar. Awalnya, Damar nggak pernah mikir gitu, Sa. Dia juga persis kayak kamu. Bilang akan dukung semua keputusanku, tapi ujung-ujungnya lihat, kan? Dia merasa nggak percaya diri buat bersanding sama aku—karena aku terlalu egois dan serakah, nggak mikirin gimana perasaan orang lain setiap ambil keputusan. Aku takut di saat aku berharap kamu orang yang berbeda dari mantanku, ternyata ujungnya kamu sama aja kayak mereka."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now