Ch. 31: The things she keep inside

14.5K 1.7K 174
                                    

LUNA

"Ini yakin cuma teman doang, Lun?" bisik Hanifa.

Sepuluh menit yang lalu, aku menarik Aksa untuk dikenalkan kepada Hanifa dan Dewa. Mata Hanifa langsung membola sedangkan Dewa tersenyum tidak jelas. Setelah mengetahui pekerjaan Aksa sebagai konsultan bisnis, Dewa dengan antusias membicarakan tentang stock trading dengan Aksa. Sedangkan Hanifa yang tidak tertarik dengan pembicaraan itu, langsung beringsut ke arahku untuk bergosip.

"Gue nggak pernah lihat jelas mukanya karena dia nggak pernah turun dari mobil setiap jemput lo, tapi gue nggak nyangka teman lo secakep ini. Kenapa semua teman cowok lo cakep-cakep sih, Lun? Teman lo yang kerja di bagian risk management di perusahaan klien kita juga ganteng," kata Hanifa.

Aku tertawa singkat begitu sadar yang dia maksud itu Haris. "Mereka sahabatan, Fa."

Mulut Hanifa terbuka lebar lalu dia berdecak. "Orang ganteng emang temenannya sama orang ganteng, ya. Omong-omong, lo bisa kenal mereka darimana?"

"Ceritanya panjang. Intinya gue kenal mereka dari kembaran gue," ungkapku sambil menggigit kambing guling yang dilumuri saos kecap dan potongan cabai. Aku tersedak ketika rasa pedas dari cabai rawit yang kugigit membakar tenggorokan. Aksa yang sedang mengobrol dengan Dewa langsung menoleh ke arahku lalu memberikan segelas air putih yang ada di dekatnya. "Makasih."

"Makannya pelan-pelan," tegur Aksa seraya mengusap punggungku. Dia mengambil gelas yang sudah kosong lalu menaruhnya di meja terdekat. "Masih mau minum?"

Aku menggeleng. "Tenggorokanku perih banget. Cabenya pedas, Sa."

"Cabenya disingkirin itu. Jangan dimakan lagi daripada kamu sakit perut." Aksa mengangsurkan gelas baru kepadaku. "Minum lagi. Kalau udah nggak kuat, nggak usah dilanjutin makannya. Nanti aku aja yang abisin."

Setelah memastikan aku baik-baik saja, Aksa melanjutkan obrolannya dengan Dewa sementara Dewa terus-terusan melirikku dan Aksa bergantian. Sedangkan Hanifa sudah merapat ke tubuhku sambil menyenggol lenganku beberapa kali.

"Duh, Lun! Ini mah bukan cuma sekadar teman, kan. Kalau belum pacaran, minimal pasti sekarang lagi PDKT," tuding Hanifa, membuatku nyaris saja tersedak lagi. Aku melotot ke arahnya. "Itu si mas konsultan perhatian banget, ya. Siap siaga juga. Padahal tadi lagi seru ngobrol sama Dewa, tapi lo batuk-batuk dikit langsung lupa sekitar."

"Woi!" Aku menjerit tertahan, tapi tidak mampu menyembunyikan pipi yang merona. "Ngomongnya jangan kenceng-kenceng dong. Nanti kalau dia dengar gimana? Malu-maluin tahu!"

Hanifa seketika terbahak. Tidak peduli saat perhatian Aksa dan Dewa langsung teralih ke arahnya. Aku hanya mengangkat bahu ketika dua laki-laki itu mengarahkan tatapannya kepadaku, seolah bertanya apa yang membuat Hanifa tertawa kencang seperti itu.

Aku melihat antrean orang yang ingin memberikan ucapan ke pengantin sudah semakin pendek. "Lo mau salaman ke Mas Jero kapan? Gue kayaknya mau balik bentar lagi soalnya besok siang masih ada urusan."

Hanifa menengok ke arah panggung pelaminan. "Mau sekarang?"

Aku mengiyakan ajakannya lalu merangkul lengan Aksa. "Sa, salaman dulu ke Mas Jero abis itu kita pulang, ya? Besok kita masih ada acara ulang tahun Mama kamu, kan?" selaku di sela-sela obrolannya dengan Dewa yang semakin seru. "Takut kamu balik kemaleman juga."

Mengenai acara ulang tahun ibunya, sebelum berangkat aku memang sudah menyetujui ajakan itu setelah berpikir semalam penuh. Selain merasa tidak enak kalau harus menolak, aku akan mengambil kesempatan ini untuk mengenal Aksa dari kacamata orang-orang terdekatnya. Kami setuju untuk menyembunyikan perihal kedatanganku dari Tante Erna untuk memberikan kejutan esok hari—meski beliau sudah bertanya beberapa kali kepada Aksa mengenai kesediaanku datang di hari ulang tahunnya.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now