Ch. 43: Can time heal a broken heart?

11.5K 1.4K 57
                                    

LUNA

"Haris!" Aku refleks menutup bibir begitu menyadari teriakanku terlalu menggelegar. Haris melambaikan tangannya padaku setelah tapping access card agar bisa keluar dari gedung kantornya. "Untungnya gue belum balik ke kantor pas lo chat."

"Good timing, kan?" sahut Haris seraya mengedipkan matanya.

Beberapa menit yang lalu, saat aku menyelesaikan meeting dengan orang kantornya, Haris mengajakku makan siang bersama. Berhubung pekerjaanku di kantor sedang tidak menumpuk karena harus berangkat ke Gresik dua hari lagi untuk survey detail, aku menyetujui ajakannya tanpa ragu.

"Gimana kerjaan di kantor gue?" tanya Haris ketika kami sudah mengantre di Pepper Lunch.

"So far so good." Aku menanggapi sambil melihat papan menu. "Nggak ada issue yang menghambat terlalu parah. Sekarang lagi finalisasi dokumen Andal dan RKL-RPL sebelum diserahin ke KPA. Sisanya tinggal nunggu aja. Kalau ada revisi berarti harus direvisi, kalau nggak ada revisi berarti perusahaan lo langsung dapat izin buat mulai proyek."

"Buat orang yang belum setahun kerja di bidang ini, lo kelihatan expert banget."

"I'm a fast learner," gurauku, membuat Haris mendengus dan tampak menyesal karena telah memujiku. "Lagian, Ris, gue harus kelihatan meyakinkan supaya orang kantor lo percaya sama kinerja gue dan yang orang-orang lain yang ada di tim. Mereka keluarin uang yang nggak sedikit buat ngurus perizinan kayak gini."

"Bener juga, sih." Haris menggaruk keningnya. Dia menyebutkan pesanannya setelah berada di depan kasir, begitu pula denganku. "By the way, lo gimana sama Aksa?"

Langkah kakiku menuju meja nyaris saja terhenti. Aku sudah menduga Haris akan menanyakan hal seperti ini. Aku juga sudah menyiapkan jawaban untuk diberikan kepadanya, tetapi setelah dihadapkan pada situasi ini secara nyata, bibirku justru terkatup rapat.

Aku tidak tahu sejauh mana Haris mengetahui kondisi hubunganku dengan Aksa. Aku tidak tahu apakah dia tahu kalau aku dan Aksa pernah memutuskan untuk pacaran. Aku dan Aksa tidak pernah menyebar status atau momen kebersamaan kami di media sosial selama berpacaran, jadi satu-satunya cara dia tahu sejauh apa hubunganku dengan Aksa hanya lewat dari pengakuan kami. Untuk saat ini, sebaiknya aku memberikan jawaban yang netral.

"Nggak gimana-gimana," jawabku tenang meskipun hatiku sudah menjerit kesakitan. Sudah nyaris satu minggu berlalu, tetapi aku masih belum bisa terbiasa. "Kerjaan lo di kantor gimana?"

"Even though I love my job, I don't want to talk about it outside working hours," keluhnya. Tiba-tiba, Haris menyeringai jahil. "Ngomongin tentang lo dan Aksa jauh lebih menarik. Hubungan kalian udah sejauh mana?"

Pertanyaan itu berhasil mengonfirmasi dugaanku kalau Haris tidak tahu kelanjutan hubungan kami setelah kami bertemu di Pacific Place. Sepertinya Lisa juga tidak membocorkan hal itu kepadanya dan aku merasa bersyukur karena kembaranku itu akhirnya berhenti menyebarkan privasiku ke teman-temannya.

This should be easy. Haris tidak mengetahui apapun dan aku tidak memiliki kewajiban untuk memberikannya cerita lengkap terkait apa yang terjadi antara aku dengan sahabatnya itu.

"Gue tanya ke Aksa aja nanti sekalian," ujar Haris tanpa menunggu tanggapanku. Aku membuka mulut, berniat untuk mencegahnya, tapi kalimat selanjutnya yang kudengar berhasil membuat tubuhku terasa seperti disambar petir. "Aksa lagi otw ke sini. Dia ngajak gue makan siang bareng karena lagi ada urusan di dekat kantor gue. Makanya pas tahu lo lagi di kantor gue, sekalian aja gue ajak makan siang. Kebetulan yang menarik. Gue teman yang baik, kan?"

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now