Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia

35.7K 2.7K 34
                                    

LUNA

Sejak beberapa minggu terakhir, perbincangan yang kerap kali terdengar adalah rencana liburan Lisa dengan teman-teman kuliahnya ke Malang. Saudara kembarku itu sudah merencanakan liburannya sejak jauh-jauh hari dan tanggal liburan yang dijanjikan sudah semakin dekat, tetapi izin dari Mama belum dia dapatkan hingga detik ini. Alasannya karena pacar Lisa sejak duduk di bangku SMA ikut turut serta dalam liburan ini. Lisa hanya dapat mengantongi izin dari orang tua kami jika aku setuju untuk ikut dengannya. Dalam beberapa hal, Mama memang terlalu paranoid.

Mama bilang, "Teman-teman kamu bisa aja asyik sendiri. Bukannya Mama nggak percaya sama kamu, Lis, tapi kalian itu sudah dewasa dan pacaran udah lama. Mama nggak mau ambil risiko."

"Perginya kan nggak berdua, Ma!" erang Lisa putus asa di tengah makan malam keluarga. Di umur yang sudah menginjak dua puluh satu tahun, tidak sulit bagi kami untuk menerjemahkan apa risiko yang dimaksud Mama sejak beberapa hari terakhir. Perdebatan ini masih alot sejak Lisa pertama kali menyuarakan ide untuk pergi berlibur.

"Ajak Luna sama kamu atau kamu nggak pergi sama sekali," ucap Mama dengan tegas sementara Papa hanya terdiam dan memilih untuk memperhatikan.

"Luna nggak mau," rengek Lisa kesal. "Pa? Boleh, ya? Nggak akan macem-macem, kok. Serius, deh! Beneran perginya sama teman-teman kuliah. Papa juga kenal siapa orangnya. Boleh ya, Pa?"

Papa mengangkat bahu. "Papa sebenernya kasih izin, tapi kalau Mama kamu bilang nggak, Papa harus gimana?" Papa mengalihkan perhatiannya kepadaku. "Kamu kenapa nggak mau ikut, Lun? Kamu juga nggak ada rencana liburan, kan?"

Aku menggaruk kening. "Bukannya Papa mau ngajak liburan ke Bali?"

"Nggak bosen pergi ke Bali terus? Itinerary kita kemungkinan besar nggak akan berubah, lho. Kita juga akan lebih banyak stay di vila daripada pergi ke tempat wisata," timpal Papa, seolah berupaya mendorongku ikut pergi bersama Lisa. "Kamu belum pernah ke Malang juga, kan?"

"Belum, sih," gumamku. "Tapi nanti Papa sama Mama cuma berduaan kalau aku pergi sama Lisa."

Aku melirik ke arah Lisa yang menatapku penuh harap. Sebenarnya, saudara kembarku itu sudah beberapa kali memohon, berjanji akan memberikan imbalan setimpal kalau aku bersedia ikut dengannya. Frekuensinya pun semakin meningkat seiring mendekati hari liburan yang sudah disepakati bersama teman-temannya. Dia bahkan menawarkan diri untuk menanggung seluruh biaya yang kuhabiskan selama liburan sehingga aku tidak perlu mengeluarkan uang sepersen pun. Tapi sejak awal aku memang tidak berniat untuk pergi ke tempat wisata dengan penuh pengunjung. Staycation di vila pinggir laut jauh lebih menarik dibandingkan pergi ke Gunung Bromo, berdesakan dengan wisatawan lainnya.

Papa tergelak. "Nggak apa-apa, dong. Kapan lagi Papa punya waktu liburan berdua sama Mama?"

Aku terdiam, berusaha memutar otak untuk mencari alasan lain untuk menolak. "Aku nggak ada uang buat pergi ke Malang. Lisa bilangnya mendadak dan tabunganku juga nggak cukup."

Tentu saja itu adalah kebohongan semata. Liburan yang dirancang Lisa dan teman-temannya bukanlah tipe liburan mewah yang menghabiskan budget puluhan juta rupiah. Mereka menekan pengeluaran dengan menggunakan kereta sebagai transportasi. Bukannya menetap di hotel minimal berbintang empat, mereka tinggal di guest house di daerah Batu selama berlibur nanti. Dengan jumlah enam orang yang ikut berlibur, beberapa biaya bisa ditutup bersama sehingga uang saku sebesar satu setengah juta cukup untuk rencana liburan selama satu minggu itu.

Dan tabunganku lebih dari cukup untuk digunakan berlibur ke Malang.

"Papa yang bayarin," ujar Papa santai.

Walaupun keluarga kami merupakan keluarga dengan finansial bercukupan dan tidak pernah kekurangan uang untuk liburan ke mana pun setiap tahun, Papa tidak pernah membiarkan kami mendapatkan apa yang kami mau dengan mudah. Sejak kecil, Papa selalu menuntut kami berusaha secara mandiri untuk mendapatkan apa yang kami mau. Jika ada kekurangan, baru kami boleh mengatakannya kepada Papa untuk meminta bantuan. Termasuk uang untuk berlibur bersama teman.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now