Ch. 23: More than enough

15.3K 1.7K 23
                                    

LUNA

"Gue mesti pake baju apa?" tanyaku sambil meneliti baju yang tersusun rapi di lemariku. Aksa meneleponku tepat sekali setelah aku keluar dari kamar mandi. "Lo nggak ngasih tahu hari ini mau pergi kemana, jadi gue bingung mau pake baju apa. Takutnya salah kostum nanti gue yang ribet."

Di dalam mimpi terliarku, aku tidak pernah membayangkan akan mendengar gelak tawa Aksa sepagi ini. "Pake baju yang nyaman aja. Yang enak dipake buat jalan jauh," sarannya. Detik kemudian, aku mendengar suara roda besi yang beradu dengan rel pagar. "Pake sepatu yang nyaman. Jangan pake sepatu teplek atau sandal jepit."

Aku menghentikan kegiatanku yang sedang memilah baju yang cocok sesuai dengan deskripsi Aksa. Keningku berkerut. Hingga saat ini, aku sama sekali tidak memiliki ide tentang kemana dia akan membawaku pergi. Sepagi ini. Ketika matahari bahkan belum menunjukkan sinarnya. "Lo nggak berminat buat kasih tau gue aja kita mau pergi kemana?" dengusku. "Biar gue bisa milih sendiri baju yang cocok."

Terdengar suara berisik di seberang sana sebelum aku mendengar mesin mobil yang dinyalakan. "Sebentar, Lun. Gue mau keluarin mobil dulu," timpal Aksa. Sambil menunggu Aksa, aku menjatuhkan pilihan pada baju yang biasa kukenakan untuk jogging. Track leggings berwarna abu-abu muda dan baju berlengan pendek dengan warna senada. "Gimana, Lun? Tadi sampai mana?"

Aku memutar bola mataku lantas mengulang kembali pertanyaan yang entah sudah berapa kali kusuarakan padanya sejak pertama kali dia mengajakku pergi semalam. "Kita mau kemana?"

"Kalau gue kasih tahu sekarang, bukan kejutan namanya, Lun," sahutnya dengan intonasi yang terdengar jelas sedang menggodaku. How did I know? Well, he did this a lot seven years ago. "Jangan lupa bawa jaket atau sweater. Lo nggak kuat dingin soalnya."

Otakku langsung bekerja keras untuk menyocokkan segala hal yang diucapkan Aksa sejak beberapa menit yang lalu. Baju santai untuk berjalan jauh, sepatu kets, dan jaket. Suatu kesimpulan mengerikan yang lewat di pikiranku, membuat mataku membelalak lalu tanpa ragu melayangkan protesan kepada Aksa. "Lo lagi nggak berpikir buat ngajak gue trekking kan, Sa? Gue kasih tahu ya, Sa, in case lo lupa, besok itu Senin. Kita masih harus kerja. Kalau hari ini kita trekking, gue yakin besok badan gue remuk."

"Gue mau menghibur lo hari ini, bukan menyiksa." Aksa menanggapi dengan ringan. "Bukan trekking. Walaupun gue nggak masalah buat trekking sekaligus main air di curug, gue yakin lo nggak akan kuat bangun besok pagi, jadi gue nggak akan ajak lo ke sana."

"Lo beneran nggak ada niatan buat kasih tahu gue, ya?" gerutuku yang dibalas Aksa dengan persetujuan. Aku menaruh ponselku di atas kasur kemudian memakai baju yang sudah kupilih. "Udah jalan, Sa?" tanyaku sambil meraih ponsel dan membawanya ketika aku melangkah mendekati lemari untuk mengambil sweater berwarna hitam. "Lo nggak ngantuk mesti nyetir sepagi ini? Padahal semalam nyampe rumah juga udah larut banget, kan."

"Ini lagi di jalan." Aku mengernyit ketika mendengar Aksa menggumam tidak jelas. Tidak lama kemudian, suaranya kembali terdengar. "Makanya gue telepon lo sepagi ini, Lun. Biar ada yang nemenin gue ngobrol di jalan. Kurang lebih setengah jam nyampe apartemen lo. Paling lama empat puluh lima menit."

Aku melihat jam dinding. Seharusnya aku masih sempat menggoreng sosis dan nugget serta menyantap sarapanku sampai habis. Aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang harus menyantap sarapan setiap pagi, meski itu hanya sekadar roti dua lapis dengan selai kacang. Tak terkecuali hari ini. Mengingat niat baik Aksa yang rela berangkat pagi untuk pergi denganku, rasanya tidak tepat jika aku sarapan tanpa menawarkannya.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now