Ch. 8: Nothing less, nothing more

17K 1.9K 98
                                    

AKSA

Beriringan dengan langit yang semakin gelap, alun-alun kota Malang semakin dipenuhi oleh orang-orang yang kebanyakan sepertinya wisatawan. Di antara orang-orang yang lewat silih berganti, pandanganku tidak pernah bisa terlepas dari seorang gadis dengan rambut hitam sepunggung yang sedang membeli pecel bersama Adam, Lisa, dan Dinda. Aku tidak mengerti kenapa menangkap kehadiran Luna di antara kerumunan orang-orang selalu begitu mudahnya. Entah itu saat di Jatim Park 2 kemarin, di Kebun Teh Wonosari tadi pagi, atau di alun-alun kota saat ini.

Eksistensi Luna itu bagaikan sebuah magnet yang dapat menarik perhatian siapa pun. Ya, setidaknya, dia berhasil menyita seluruh perhatianku. Aku berani bertaruh kalau Luna bahkan tidak sadar kalau dia memiliki kemampuan spesial untuk membuat semua orang yang berpapasan dengannya tidak ragu untuk menoleh ke arahnya dua kali.

"Astaga, Sa." Haris yang sedang duduk di sampingku mendecakkan lidah beberapa kali. "Punggung Luna lama-lama bisa bolong kalau lo pelototin terus."

Perkataan Haris bukan hanya mendapatkan perhatian penuh dariku, tetapi berhasil membuat Kevin yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya kini menatapku bingung.

"Beneran naksir sama Luna, Sa?" tanya Kevin kaget. "Gue kira selama ini lo puji-puji Luna di depan kitasetiap Lisa nge-post foto bareng Luna di Instagramkarena emang dia cantik doang."

Aku meneguk kopi yang sudah mendingin sambil berkilah, "Siapa yang naksir, sih?"

"Halah!" sahut Haris, tidak percaya. Dia mengibaskan tangannya. "Emangnya gue nggak memperhatikan kalian selama tiga hari ini? Lengket banget kayak perangko. Nempel terus. Kalian bahkan bisa menyaingi Lisa dan Adam."

Aku menoleh ke Haris dengan wajah yang mungkin seperti baru melihat hantu. "Separah itu?"

Haris tertawa singkat. Bibirnya melengkung ke atas, menimbulkan seringai kecil yang bermain di wajahnya. "Gimana, Vin?" tanyanya kepada Kevin. Dia melirikku sekilas. "Kayaknya mesti lo yang ngomong supaya dia percaya."

Kevin menganggukkan kepala, menyetujui apa yang Haris katakan. Dia mengulang pertanyaan yang sebelumnya diajukan. "Beneran naksir, Sa?"

Aku hanya mengangkat bahu. "Dia cantik dan seru buat jadi teman mengobrol."

"Cantik, sih," komentar Kevin, membuatku memicingkan mata kepadanya. "Tapi, not my type. Wajar kalau lo bilang Luna cantik. Lihat sekilas aja gue udah tahu kalau dia itu tipe lo banget."

"Pretty and smart." Haris menambahkan dengan raut muka yang menyebalkan seakan dia paling mengenal Luna. "Pantas aja lo nggak bisa jauh dari dia."

Haris dan Kevin tergelak bersamaan, membuatku hanya mampu melengos dan melempar mereka dengan kulit kacang. Namun, bukannya merasa bersalah, mereka justru semakin lancar melemparkan berbagai macam ledekan hingga telingaku pengang mendengarnya.

Ketika mengedarkan pandangan ke sekitar, aku menangkap sosok Luna yang sedang melambaikan tangannya dengan heboh. Kemudian, ketika pandanyan kami beradu, dia menggerakkan tangannya seperti sedang menyuapkan makanan ke mulut. Tanpa suara, dia tampak seperti sedang bertanya, "Makan?"

Dengan cepat, aku menunjukkan satu jari telunjuk. Luna menanggapi permintaanku dengan anggukkan kepala dan aku bisa melihatnya segera berbicara dengan penjual pecel. Sepertinya, untuk memesankan pesananku barusan.

Di sebelahku, lagi-lagi Haris berdecak lalu berceletuk, "Sekali-kali lo harus berkaca biar lo sadar gimana cara lo menatap Luna. Ibaratnya lo itu melihat Luna seakan dia adalah the one yang udah lama lo tunggu dan tiba-tiba muncul di depan mata lo."

Aku mendelik, menyuruhnya untuk menutup mulut sebelum berkata dengan nada final. "Gue sama Luna itu nggak ada apa-apa. Cuma teman."

Kevin menaikkan sebelah alisnya. Dari raut wajahnya saja, aku dapat menyimpulkan kalau dia sama sekali nggak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Begitu pula dengan Haris. Dan entah kenapa, aku jadi ikut meragukan perkataanku.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now