Ch. 42: I don't know what to do

11.7K 1.4K 45
                                    

AKSA

"Akhir-akhir ini perasaan gue doang atau lo udah mulai lembur gila-gilaan lagi, Mas?" tanya Retta, salah satu associate di timku. Aku mengalihkan pandangan sekilas dari laptop yang menampilkan valuasi perusahaan. "Biasanya lo jarang pulang di atas jam sembilan kalau nggak mendesak banget. Apalagi di hari Jumat gini. Jam setengah enam juga lo udah kabur kalau nggak ada kerjaan."

"Kerjaan lagi banyak," dustaku sambil menghitung net asset dan EBITDA. Tapi, dia tidak perlu tahu apa alasan sebenarnya aku menenggelamkan diri di balik tumpukan pekerjaan yang sebenarnya tidak terlalu mendesak. "Berhubung sebentar lagi cuti natal dan tahun baru, kerjaan mau gue selesaikan supaya bisa cuti dengan tenang tanpa diganggu bos."

"Going for extramiles?" Retta menyeringai, membuatku mengangguk singkat tanpa berbicara lebih lanjut. "Omong-omong, lo jadi pergi ke Bali, Mas? Waktu itu lo nanya-nanya ke gue soal Nusa Penida, itu jadi? Mau pergi sama siapa?"

Aku tersentak sebelum menyahut lugas. "Nggak jadi."

"Mending lain kali aja soalnya kalau lo ke sana pas liburan panjang begini pasti rame," timpal Retta. Dia beranjak dari kubikelnya sambil menenteng tas. "Lo mau balik jam berapa, Mas?"

Aku melirik jam tanganku. Sudah jam sepuluh. "Sebentar lagi."

"Gue duluan ya, Mas," pamit Retta. Dia menaruh sebungkus snack bar di dekat laptopku. "Jangan balik malem-malem. Lo mau jadi penunggu lantai dua belas atau gimana?"

"Sialan lo!" rutukku saat mendengar ejekannya.

Aku meluruskan punggung ketika teman kerjaku itu sudah berlalu. Tanganku mengusap mata yang terasa perih karena beberapa hari terakhir terus melihat layar laptop untuk waktu yang lama. Sejak bertengkar dengan Luna, intensitas lemburku terus meningkat kemudian semakin parah ketika hubunganku dengannya berakhir beberapa hari yang lalu.

It feels like I'm going back to square one. All I have is work and work. Tidak ada lagi bertandang ke apartemen Luna, makan malam bersamanya, dan menamatkan beberapa film dalam satu hari. Hidupku saat ini kembali berkisar di kantor dan rumah—bahkan rumah seperti tempat yang asing karena aku hanya tidur beberapa jam di sana, mandi, kemudian pergi ke kantor lagi.

Pikiranku membawaku ke telepon yang kudapat dari Luna kemarin malam. Aku sempat tidak mempercayai penglihatanku saat melihat panggilan masuk dari Luna. Hatiku terasa penuh dan kosong bersamaan ketika mendengar suaranya lagi. Suara yang mungkin tidak akan bisa kudengar lagi ke depannya. Mungkin kemarin adalah hari terakhir aku bisa mendengarnya.

Luna tidak tahu kemarin aku berusaha setengah mati untuk tidak mengakui padanya kalau aku merindukannya. Aku nyaris mengatakannya. Sudah berada di ujung lidah, tapi sadar dia mungkin akan merasa dipermainkan jika aku nekat mengatakan hal itu padanya. Lebih baik seperti ini. Hubunganku dan Luna memang lebih baik berakhir daripada harus menyakiti satu sama lain lebih dalam lagi.

Aku menghela napas lalu memutuskan untuk kembali bekerja. Meski tidak mudah untuk fokus pada pekerjaan di saat pikiranku dipenuhi oleh nama Luna sejak beberapa hari terakhir.

*


"Wah, you look like a shit," komentar Adam pedas begitu menemukanku. Beberapa saat yang lalu, dia menghubungiku saat aku sedang berada di Potato Head sendirian dengan segelas sangria untuk melepas penat. "Ini udah gelas ke berapa?"

Aku menyesap minumanku. "Gelas pertama dan terakhir. Gue nggak berniat mabuk."

"Gue kira lo mau mengulang kejadian di Australia waktu kita pergi ke Prudence," sahut Adam dengan tawa lepas.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now