Ch. 3: More beautiful than I ever imagined

22.1K 2.4K 76
                                    

LUNA

Taruhan yang kubuat bersama Aksa sepertinya akan kumenangkan. Ini sudah jam setengah dua siang dan film keempat yang kami tonton baru saja berakhir, tetapi Kevin masih terlelap di tempat duduknya. Beberapa kali aku menengok ke belakang untuk mengecek keadaan, tapi yang aku dapatkan hanyalah Kevin dengan mata yang terpejam dan kepala yang bersender ke jendela.

"Udahan dulu nontonnya," cetusku ketika film keempat sedang menampilkan credit title. "Lapar, nggak? Kita udah kelewatan jam makan siang gara-gara keasikan nonton."

Aksa melepas earphone yang menyumbat telinganya. "Siapa yang tadi ditawarin makan sama petugas kereta tapi menolak karena nggak mau acara nonton filmnya keganggu?"

Aku memutar bola mata ketika mendengar Aksa meledekku. Aku mulai terbiasa dengan sikap usilnya setelah menghabiskan waktu sekitar delapan jam di sampingnya. Namun, tidak kupungkiri, sikapnya itulah yang mampu menghilangkan rasa canggung yang kumiliki di pertemuan pertama ini. Pembawaannya yang kelewat santai itu membuatku merasa sudah mengenalnya bertahun-tahun sehingga aku tidak perlu menahan diri untuk menjadi diriku sendiri.

"Mau ke gerbong restorasi, nggak?" tanyaku seraya mengambil dompet yang ada di dalam tas, tapi aku mengurungkan niatku. Aku menyeringai kepada Aksa begitu pandangan kami beradu. "Lo kalah taruhan, kan?"

Aksa mengerjapkan mata lalu menggelengkan kepalanya. Dia menatapku takjub. "Gue kira lo udah lupa karena keasikan nonton," timpalnya. Tak lama kemudian, dia berdiri lalu membungkukkan sedikit tubuhnya seolah dia adalah pelayan di restoran. "After you, Princess."

Dengan susah payah, aku berusaha untuk menahan senyum, tetapi sayangnya usahaku tidak berhasil karena aku bisa merasakan sudut bibirku berkedut dan tertarik ke atas dengan sempurna. Dengan wajahnya yang good looking, sikapnya yang manis itu merupakan poin plus yang bisa membuat setiap perempuan bertekuk lutut. Aku yakin, pasti banyak perempuan yang luluh terhadapnya.

Termasuk diriku—jika aku tidak bisa mengontrol perasaanku.

Kami baru saling mengenal dalam hitungan jam, tetapi rasanya aku ingin mengangkat bendera putih dan menyerah akan pesonanya. Tapi, tentu saja aku tidak menunjukkan kekagumanku secara terang-terangan. Ketika melewatinya yang sedang tersenyum jenaka, aku mendelikkan mata.

"Belum ada dua puluh empat jam sejak kita ketemu, lo udah berani bikin panggilan spesial buat gue?" tanyaku, pura-pura tidak terima. Tetapi sepertinya Aksa merasa sudah cukup mengenalku sehingga dia hanya terbahak, tidak menganggap ucapanku adalah hal yang serius.

Lagi pula, aku juga tidak benar-benar merasa keberatan dengan panggilan itu.

"Oh, in case you are wondering, gue punya banyak panggilan spesial buat lo kalau lo merasa 'princess' itu terlalu kekanakan," balasnya penuh percaya diri. "Atau panggilan itu kurang spesial?"

Aku menyikut pinggangnya pelan, menyuruhnya untuk berhenti menggodaku. Walaupun dia menanggapi dengan tawa kecil, setelahnya dia tidak berkata apa-apa. Aku tahu dia hanya bercanda sehingga aku berusaha mengendalikan diri dan tidak menganggap apa yang dia katakan adalah sesuatu yang spesial.

"Eh, mau ke mana?" Haris bertanya ketika kami melewati tempat duduknya.

Di belakangku, Aksa menyahut. "Ke gerbong restorasi."

Aku membalikkan tubuh seraya melihat Haris dan Dinda yang sedang menyemil sebungkus biskuit. "Mau ikut, nggak?" tawarku. "Eh, kalian udah makan belum, sih?"

"Tadi gue udah beli nasi goreng, sih," jawab Dinda dengan nada menggantung. Dia tampak berpikir sebentar. "Mau ikut, deh. Mendadak kepengen makan pop mie."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now