Ch. 45: Make things right

13.2K 1.6K 73
                                    

LUNA

Aku sudah berencana untuk mengajak Aksa berbicara di acara pernikahan Kevin. Dua hari terakhir, aku berusaha untuk menyusun kalimat yang akan kubicarakan dengannya dan aku harap, aku tidak mengacaukan usahaku itu ketika berhadap dengannya. Setengah jam telah berlalu sejak pemberkatan yang dilakukan di salah satu hotel ternama di Dago Pakar. Kevin dan istrinya sudah berfoto dengan groomsmen dan bridesmaid yang diarahkan oleh fotografer. Sekarang mereka sedang berfoto dan berbincang dengan tamu-tamu lain yang datang ke acara pemberkatan.

Mataku menyapu sekitar usai kembali dari toilet untuk melihat kondisi riasan wajahku dan mengumpulkan keberanianku yang sempat menciut begitu melihat Aksa mengiringi Kevin menuju altar. Aksa tidak ada di tempat ini. Berapa kali aku mencari kehadirannya, dia tidak ditemukan di mana-mana.

"Luna. Thank you udah datang jauh-jauh ke Bandung," ujar Kevin saat aku melangkah mendekatinya yang sedang mengobrol dengan Lisa, Adam, dan Haris. Aku memberikan senyuman kecil dengan mata yang masih berusaha mencari keberadaan Aksa. "Cari Aksa?"

Aku kontan menoleh dengan mata yang beberapa kali mengerjap. Detik kemudian, aku mengangguk. Tidak mempedulikan tatapan Lisa dan Adam yang menghujamku. Selama perjalanan ke Bandung tadi pagi, mereka terus memperingatiku bahwa Aksa akan ada di acara ini dan menyuruhku berjanji untuk tidak menangis di tengah acara.

"Dia izin balik ke kamar. Mau tidur sebentar sebelum resepsi," jawab Kevin sambil melihat jam tangannya. "Lumayan dia masih bisa tidur dua jam sebelum shoot video dan briefing sama orang WO buat acara resepsi jam enam."

"Aksa lagi nggak enak badan. Dari pagi ribut terus karena kepalanya pusing," sahut Haris. Mungkin dia menangkap kebingungan di wajahku. "Makanya sebelum pemberkatan, Kevin sengaja buka kamar buat Aksa supaya bisa istirahat sebentar."

Aku mengangguk pelan. "Oh."

Mungkin aku bisa mengajaknya berbicara nanti saat resepsi. Ketika makan malam dengan tema fine dining. Semoga saja Kevin menempatkanku dan Aksa di meja yang sama agar aku bisa lebih leluasa memulai interaksi dengannya.

Tiba-tiba, Kevin menyodorkanku sebuah kartu yang sekilas dapat kukenal sebagai access card. Dia semakin mengangsurkan kartu itu ketika aku hanya bergeming. Tidak bergerak sama sekali dan hanya memandang kartu itu dan dirinya bergantian.

"Ini access card kamar Aksa. Gue sengaja minta satu ke dia karena dia susah dibangunin," timpal Kevin. Entah kenapa sepertinya semua orang seperti dapat membaca pikiranku. Mereka seolah mengerti apa yang ada di benakku tanpa aku perlu menyuarakannya. "Lo bisa ngomong sama Aksa lebih privat di sana. Nggak ada yang ganggu. Dua jam cukup, kan?"

"Kalau buat ngobrol doang harusnya cukup, tapi nggak tahu kalau buat yang lain," goda Haris terang-terangan. Kemudian, dia mengaduh ketika Lisa memukul lengannya dengan kencang. "Ya ampun, Lis! Gue cuma bercanda!"

Tawaran Kevin sangat menggiurkan. Aku dan Aksa bisa berbicara lebih leluasa di kamar tanpa adanya gangguan. Dan itu yang sebenarnya aku butuhkan. Sambil menimbang-nimbang tawaran itu, aku melirik Lisa dan Adam dari ujung mata.

"Kelamaan mikir!" keluh Lisa. "Perlu gue anterin sampai depan kamar?"

"Nggak perlu!" tolakku cepat sambil menyambar access card yang ada di tangan Kevin. Aku melemparkan senyum pada Kevin lalu berkata, "Thank you, Vin. I owe you one."

Kevin hanya menggeleng dan mengibaskan tangannya, pertanda dia tidak keberatan sama sekali telah memberikan bantuan ini. Tanpa menunggu lebih lama, aku membalikkan tubuh dan berjalan menuju gedung hotel yang terpisah dengan kapel. Aku berderap cepat melewati lobi dan menekan tombol lift meski high heels tujuh senti yang kugunakan sedikit membuatku kesulitan.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now