Ch. 7: Sometimes the little things matter the most

18.8K 2.1K 52
                                    

LUNA

Matahari bersinar terik ketika kami menukar tiket masuk ke Jatim Park 2. Rencana rapi yang disusun Lisa tertunda selama dua setengah jam karena aku dan Aksa bangun kesiangan. Aku baru tahu kalau perkataan Haris ternyata bukan gurauan semata. Adam, Haris, dan Kevin sudah kehabisan cara untuk membangunkan Aksa. Ketika Lisa turun tangan, barulah Aksa terpaksa bangkit sambil menggerutu menuju kamar mandi.

Tidak ada yang tersinggung setelah mendengar semua keluhan cukup kencang yang keluar dari bibir Aksa. Dinda bilang, Aksa bisa menjadi sangat grumpy kalau dipaksa bangun dari tidur nyenyaknya dan semua orang menyetujui hal itu. Mereka sudah memaklumi. Lagi pula, setelah Aksa keluar dari kamar mandi, sisi grumpy-nya itu segera tergantikan oleh sisi bersahabatnya, seolah gerutuan yang dia lontarkan itu tidak pernah terjadi.

"Kalian semalam pulang jam berapa, sih?" tanya Lisa heran setelah kami masuk ke kawasan Batu Secret Zoo. "Pas kita semua mau tidur kayaknya kalian belum pulang."

"Jam dua belas, mungkin? Atau setengah satu?" kataku tidak yakin. "Gue juga lupa jam berapa tepatnya kami pulang."

Lisa mendelik. "Kalian makan malam di mana, sih, sampai berjam-jam begitu? Ke alun-alun kota, ya?"

Aku mengipas wajahku sendiri dengan tangan meski tidak memberikan efek apapun. Entah harus bersyukur atau tidak, baju berbahan kaos lengan panjang yang kupakai mampu menghalangi sinar matahari menyentuh kulit secara langsung, tetapi baju ini juga yang membuatku sedikit kegerahan.

"Nggak, lah! Udah semalam itu buat apa ke alun-alun kota yang jauh banget," komentarku.

Mataku terpaku pada Aksa yang berjalan di depanku dengan Kevin di sebelahnya. Aksa hari ini tampak begitu santai dengan polo berwarna hitam dan celana jins. Tidak lupa dengan topi hitam yang katanya berguna untuk menutupi wajah mengantuknya. Di depan mereka, Haris dan Dinda berjalan bersisian sambil mengobrol entah tentang apa. Sesekali, aku melihat Dinda memukuli badan milik sahabatnya itu dan tak butuh waktu yang lama bagiku untuk menyimpulkan kalau itu disebabkan oleh sifat usil Haris.

Keisengan Haris itu terkadang memang berada di luar nalar, belum lagi mulutnya yang tidak memiliki filter sama sekali. Namun, entah kenapa setiap bersama Dinda, taraf menyebalkan laki-laki itu melonjak tajam hingga aku berpikir kalau Haris memang sengaja menarik perhatian Dinda dengan cara tersebut.

But, hei, tebakanku itu bisa saja salah, kan?

"Seharusnya gue kasih warning dulu sebelum kalian pergi." Suara Adam, yang berjalan di samping Lisa dengan jemari yang saling berkaitan, membuatku menoleh. "Aksa itu susah banget bangun pagi. Kalau kalian mau cari makan malam lagi, jangan balik terlalu malam."

Aku mengangkat bahu. "Haris udah sempat menyinggung hal itu waktu makan siang, tapi gue nggak tahu kalau beneran separah itu."

Adam meringis. "Emang separah itu, Lun."

"Absen dia pas kuliah mayoritas bolong karena dia bangun kesiangan," ungkap Lisa.

"Dia ngekos?" tanyaku.

Lisa menggeleng. "Tinggal sama orang tuanya di daerah Cimanggis. Tapi, orang tuanya itu sama-sama kerja jadinya kalau dia tidur lagi setelah semua orang rumah pergi, nggak ada yang bangunin." Kembaranku itu berucap panjang lebar dengan ringan. "By the way, dia anak kedua. Punya satu kakak perempuan yang udah kerja dan adik laki-laki yang baru mau masuk kuliah."

Wow. Too much informationmeski aku tidak keberatan mendapatkan informasi tentang Aksa secara cuma-cuma. Kalau Lisa tidak berinisiatif untuk membagi informasi itu, aku tidak akan tahu bagaimana caranya mengangkat topik mengenai kediamannya maupun keluarganya tanpa terlihat memiliki rasa ketertarikan yang tinggi.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now