Ch. 5: I don't need to find someone else

16.5K 2K 26
                                    

LUNA

"Mau ikutan nggak, Lun?" tanya Dinda. Tangannya sibuk mengocok sebuah kartu. Semua orang sudah duduk melingkar di ruang tengah sementara Aksa sibuk dengan ponselnya di pojok ruangan. Dinda bergeser, menyisakan sedikit tempat untukku di antara dirinya dan Kevin.

Aku menekan bibir hingga membentuk garis lurus. Setelah menimbang tawaran tersebut, aku mengambil tempat yang diberikan Dinda. "Gue lihat dulu aja. Nggak tahu cara mainnya."

Semua pasang mata langsung terarah kepadaku.

Aku mengerjap. "Kenapa?"

"Lo nggak tahu cara main kartu UNO?" tanya Lisa dengan suara yang naik beberapa oktaf. Aku menjawab pertanyaannya dengan gelengan pelan. Kembaranku itu terperangah. "Gila! Lo hidup di gua? Masa dari sekian team building, makrab, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat mendekatkan diri satu sama lain, lo nggak pernah main UNO!"

Aku berdecak. "Nggak ada yang salah dengan nggak bisa main UNO. Lagian gue ini termasuk cepat belajar, kok."

"Akhirnya ada sesuatu yang Luna nggak bisa dan gue bisa," sahut Lisa dengan senyuman puas di wajahnya. Dia menggerakkan alisnya naik turun. Dengan seringai yang menghiasi wajahnya, aku yakin seratus persen kalau Lisa tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membuatku kalah total.

Haris tertawa keras. "Kayaknya Lisa punya banyak dendam sama lo, Lun."

Aku menghela napas lalu menaruh kedua tanganku di dada. "Padahal selama ini gue udah rela melakukan apa pun buat dia, Ris," aduku dengan nada sedih yang dibuat-buat. "Kalau dia lagi ribut sama Adam, gue yang nenangin dan bantu cari solusi. Waktu awal-awal mereka pacaran, pas mereka mau jalan berdua tapi nggak dibolehin sama nyokap, gue selalu rela jadi obat nyamuk di antara mereka supaya mereka tetap bisa nge-date. Bahkan, sampai sekarang aja gue rela ikut ke Malang supaya dia sama Adam bisa pacaran. Perjuangan gue kurang apalagi, sih?"

Ruang tengah dipenuhi dengan derai tawa. Dinda tergelak hingga kartu-kartu yang berada di tangannya terlepas dan berceceran di lantai. Kevin yang sedari tadi hanya memperhatikan perdebatanku dengan Lisa juga tidak bisa menahan tawanya. Hanya Lisa yang mencebikkan bibirnya dan menyenggol Adam beberapa kali, seolah meminta kekasihnya itu untuk membelanya. Namun, Adam sama sekali tidak membantu. Laki-laki itu justru ikut tertawa bersama yang lainnya.

"Lo emang ditakdirkan buat thirdwheeling dari lahir kayaknya, Lun," timpal Haris tanpa beban.

Aku mengedikkan bahu lantas memindahkan pandanganku ke arah Lisa. "Ya, nggak apa-apa, lah. Buat kembaran sendiri, kan?" kataku iseng, tersenyum penuh kemenangan.

"Untung saudara kembar!" sungut Lisa, membuat tawa yang tadinya sempat terhenti, muncul kembali dengan riuh. Lisa kembali merengut. "Ayo, main! Ketawa mulu!"

"Din, buruan bagiin kartunya," pinta Haris. "Keburu Lisa ngamuk beneran."

Sedetik kemudian, tangan Lisa sudah melayang ke lengan Haris sampai menimbulkan bunyi pukulan yang cukup kencang. Aku meringis. Pasti sakit. Tebakanku benar karena Haris langsung mengaduh dan menyuarakan protesanmeski tawa geli masih meluncur dari bibirnya di setiap kesempatan.

Alih-alih membagikan kartunya, Dinda mengarahkan tatapannya ke Aksa. "Sa, mau ikutan main, nggak?"

Aksa mendongak kemudian menggeleng. "Kalian main duluan aja. Ada yang mesti gue urus dulu," katanya. Dia menyempatkan diri untuk melempar senyum ketika melangkah menuju kamar.

"Lihatin aja dulu, Lun, cara mainnya," kata Kevin yang duduk di sebelah kiriku. Refleks, aku menoleh ke arahnya setelah mengikuti sosok Aksa yang menghilang di balik pintu kamar. Kevin sedikit menyodorkan kartu-kartu yang sudah ada di tangannya ke arahku agar aku bisa melihatnya. "Lo lihat aja nanti gue mainnya gimana. Gampang, kok."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang