Ch. 28: Peace of mind

14.4K 1.7K 52
                                    

LUNA

Kedua tanganku menyatu di depan dada ketika pintu kamarku tertutup. Aku menyandarkan punggung pada pintu sambil merasakan detak jantungku yang menggila. Take as much time as you need. I will wait for you. Perkataan terakhir Aksa itu terulang puluhan kali di kepalaku sejak aku tergesa-gesa masuk ke dalam rumah setelah mendengarnya. Aku mengerang pelan begitu mengingat balasanku atas perkataannya. Good night, Sa. Ucapan selamat malam, for god's sake! Bagaimana bisa aku mengucapkan selamat malam lalu kabur begitu saja dari hadapannya?

Aku menaruh tas selempangku tidak jauh dari nakas lalu menaiki tempat tidurku. Aku berlutut di atasnya, menarik bantal dan menyembunyikan wajahku di sana kemudian memukul kasur dengan kencang.

"Oh my god!" teriakku sedikit teredam oleh bantal.

Dengan hati yang terus mengalami pergulatan, aku berusaha menenangkan diri. Berusaha mengirimkan peringatan kepada diriku sendiri agar tidak melambung tinggi atas ucapan Aksa. He is just being friendly, just like what he did seven years ago. Dia hanya menganggapku sebagai teman dan sudah seharusnya aku tidak menganggapnya lebih dari itu jika tidak ingin patah hati untuk kedua kalinya karena orang yang sama.

Selain itu, aku masih tidak tahu bagaimana hubungan Aksa dengan Amanda sekarang. Meski sudah berminggu-minggu berlalu sejak pertemuan tidak sengaja kami di Plaza Senayan dan Aksa berkata dia tidak pernah bisa kembali ke mantannya itu setelah diselingkuhi, hubungan mereka sekarang masih menjadi tanda tanya sendiri bagiku.

Aku menyisir rambutku dengan jari-jari tangan lalu membuang napas dengan kencang. Dengan harapan air dingin mampu menjernihkan pikiranku, aku beranjak menuju kamar mandi dengan menenteng handuk dan piyama. Namun, usahaku itu sia-sia karena entah bagaimana caranya, apa yang Aksa katakan telah terekam dengan jelas dan baik di memoriku—seolah sikapnya selama beberapa minggu belakangan ini tidak cukup membuatku bertanya-tanya apa maksud di balik semua perhatian itu.

Kakiku melangkah menuju nakas untuk mengambil ponsel yang berdering. Sebelum aku melihat siapa yang mengirimkan pesan, pintu kamarku diketuk pelan. Detik kemudian, pintu itu terbuka dan aku tersenyum simpul melihat Papa bersandar di daun pintu.

"Baru pulang?" tanya Papa yang kujawab dengan anggukan kepala. "Mobil kamu nanti bisa kamu bawa pulang hari Minggu."

"Aku ambil di mana?" tanyaku sambil duduk bersila di atas tempat tidur.

"Nanti Papa yang minta tolong orang bengkelnya buat anterin ke rumah." Papa melangkah memasuki kamarku kemudian duduk di sisi ranjang. "Tadi pulang sama siapa?"

Aku mengalihkan pandangan. "Teman."

"Laki-laki?"

Bola mataku bergerak tidak beraturan. Aku memutar ponsel yang ada di tanganku kemudian menggumam tidak jelas. Begitu melihat Papa masih tidak berbicara seakan menunggu jawaban yang jelas keluar dari mulutku, dengan terpaksa, aku mengangguk pelan. Tidak ada gunanya juga untuk berbohong kepada beliau karena Papa selalu tahu kapan aku jujur dan berbohong. "Tapi, seratus persen cuma teman. Beneran." Aku mengangkat jari telunjuk dan jari tengahku, bersumpah. "Papa nggak perlu khawatir."

"Papa berhak buat khawatir lho, Lun," kata Papa dengan senyuman menghiasi wajahnya. Walaupun senyuman itu jelas tidak dapat menyembunyikan kerutan di keningnya, menandakan Papa keberatan dengan fakta bahwa aku baru saja diantar pulang oleh laki-laki. "Kamu emang nggak cerita apa-apa, tapi Papa tahu. Setelah pengalamanmu itu, Papa cuma berharap kali ini kamu benar-benar dekat sama orang yang baik."

Tidak perlu menjadi jenius untuk mengerti apa yang dikatakan Papa. Walaupun aku merasa orang tuaku tidak perlu tahu detail mengenai apa yang terjadi antara aku dan Damar, tampaknya Lisa tidak berpikir sama. Intinya, Lisa melempar kisah berakhirnya hubunganku dengan Damar kepada Mama hingga akhirnya sampai di telinga Papa.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now