Ch. 33: I'm losing my common sense

15.2K 1.5K 72
                                    

AKSA

"Coba kamu lihat ke arah kanan," tukasku sambil memegang ponsel agar tetap berada di telinga. Aku melambaikan tangan ketika melihat Luna memutar badannya ke arah yang kusebutkan. Sambungan telepon kumatikan ketika dia sudah berjalan mendekat. Senyuman yang tersungging di wajahnya tidak dapat menyembunyikan air mukanya yang lesu dan kantung matanya yang terlihat lebih membesar sejak terakhir kali aku bertemu dengannya.

"Padahal kamu nggak perlu jemput, Sa," celetuk Luna begitu berdiri di hadapanku. Dia mendecak sambil menggeleng pelan. "Emangnya nggak capek apa pulang kerja langsung jemput aku di bandara begini?"

"I worried about you." Aku mengambil alih kopernya dan merangkulnya untuk berjalan ke tempat mobilku diparkir. "Sebelum kamu pergi ke Papua, kondisi kamu kan, lagi nggak fit. Aku makin khawatir sejak kamu bilang sempat demam semalam. Sekarang gimana kondisinya? Masih pusing nggak?"

Seminggu terakhir, Luna memang harus pergi ke Papua untuk pengambilan sampel kualitas lingkungan dan kualitas sosial untuk salah satu proyek yang dikerjakan oleh timnya. Sehari sebelum berangkat, dia menghabiskan waktunya dengan tidur seharian di apartemen karena beberapa hari sebelumnya dia harus lembur untuk menyelesaikan laporan proyek lain.

Walaupun tidak melihat kondisinya secara langsung, aku tahu kesehatannya sedikit menurun dari suaranya yang terdengar parau dan batuk yang sesekali terdengar ketika aku meneleponnya. Sayangnya, saat itu aku juga tidak dapat berbuat banyak karena sedang lembur di kantor.

Aku sadar ada yang salah saat dia meneleponku tengah malam kemarin, beralasan dia tidak bisa tidur dan ingin ditemani mengobrol—yang untungnya aku masih terjaga karena harus menyelesaikan valuasi sinergi salah satu proyek merger—padahal dari suaranya, aku tahu dia sedang tidak baik-baik saja. Setelah merasa terpojokkan, barulah Luna mengaku kalau suhu badannya meningkat semalam sehingga dia kesulitan tidur.

"Udah sehat soalnya dijemput sama kamu," canda Luna, berbanding terbalik dengan wajahnya yang pucat. Aku mendengus, tidak habis pikir dengannya karena masih sempat bercanda di situasi seperti ini. "Aku cuma butuh obat terus istirahat."

"Aku antar kamu pulang ke Bintaro aja, ya?"

"Ke apartemen aja," tolak Luna. "Aku udah sehat, Sa. Serius."

Aku mendecakkan lidah. Dalam beberapa situasi, aku masih belum terbiasa dengan sifat keras kepalanya. Tidak menghiraukan ucapannya, aku mengangkat koper Luna ke dalam bagasi sementara si pemilik koper sudah masuk ke dalam mobil. Tanpa berbicara lebih lanjut, aku menjalankan mobil keluar dari area bandara.

"Kamu marah, Sa?" tanya Luna dengan nada hati-hati.

Sontak, aku menoleh sekilas. "Aku mana bisa marah sama kamu sih, Lun?" sahutku. "Aku khawatir sama kamu."

"Kamu diam aja daritadi," ucapnya, sedikit merengek.

"Aku diam karena lagi mikir cara apa lagi yang bisa aku pake buat bujuk kamu pulang ke rumah orang tuamu daripada harus sendirian. Kalau kamu butuh sesuatu nanti malam atau tiba-tiba kondisimu drop di apartemen, kamu sendiri yang kerepotan."

"Aku udah nggak demam lagi. Kepalaku emang masih sedikit pusing, tapi ini bisa hilang setelah minum obat. Biasanya juga begitu, kok." Luna masih bersikeras. "Kalau kamu nggak percaya, nanti kamu turun dulu aja. Tungguin aku dari mulai minum obat sampai aku tidur. Gimana?"

Aku menghela napas lalu mengulurkan tangan untuk mengelus kepalanya. Sadar tidak ada gunanya berdebat dengan Luna, aku menganggukkan kepala dan melajukan mobil semakin cepat menuju apartemennya.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now