Ch. 14: I didn't have a girlfriend

15.9K 2K 62
                                    

LUNA

Aku menggigit bibir, berusaha menahan berbagai emosi yang bercokol di hati untuk tidak terkeluarkan begitu saja. Kesal, kecewa, marah, senang, dan penuh antisipasi semua bercampur menjadi satu hingga aku tidak tahu perasaan mana yang lebih berat kurasakan. Bagaimana pun juga, di ruangan ini masih ada Lisa dan Adam. Aku tidak ingin rahasia yang sudah kusimpan rapat bertahun-tahun dari mereka terbongkar begitu saja karena aku tidak bisa mengendalikan diri.

Bukannya aku tidak sadar Lisa dan Adam menatapku dan Aksa bergantian, penuh dengan rasa penasaran. Namun, aku tidak merasa memiliki kewajiban untuk menjelaskan kepada mereka.

Aku membalikkan tubuh, menatap Aksa tepat di manik mata. Agar laki-laki itu sadar kalau aku sama sekali tidak merasa terganggu dengan kehadirannya. Aku juga ingin membuktikan, terlepas dari apa yang dia lakukan kepadaku dulu, aku masih sanggup berdiri kokoh hingga saat ini. Masih terlihat baik-baik saja. Terlihat jauh lebih baik dari tujuh tahun yang lalu.

"Kirain lo udah lupa sama gue," ujarku dengan senyum miring. "Mengingat kita nggak pernah ketemu atau chat-an lagi setelah lo pergi ke Australia."

Untuk sejenak, Aksa terpaku. Sebelum akhirnya, laki-laki itu menarik kedua sudut bibirnya. Mengizinkanku untuk memandang lesung pipi yang tertekuk dalam setelah bertahun-tahun lamanya aku tidak melihatnya lagi.

"Wow, I can't believe you are still the same person I met seven years ago. Savage Luna. I like it," sahut Aksa, berdecak beberapa kali. Seperti kagum kepadaku. Matanya berkilat penuh ketertarikan. Dia memajukan tubuhnya hingga wajah kami hanya terpisah beberapa senti. "Are you even look this beautiful seven years ago? I think you look prettier as the day goes by."

He said, I still look like the same Luna that he met seven years ago. Di dalam hati, aku bertanya-tanya, apa aku benar masih terlihat sama? Kalau jawabannya iya, maka upaya yang kulakukan selama beberapa tahun terakhir untuk mengubah diriku agar tidak kembali melakukan hal yang bodoh—seperti menyukai seseorang secepat kilat—berakhir sia-sia. Atau itu hanya basa-basinya saja? Seperti sebuah omong kosong untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau aku masih akan melihatnya dengan cara yang sama seperti dia tidak pernah menyakitiku.

"Dan lo juga masih kelihatan sama kayak tujuh tahun yang lalu," ucapku sambil melepaskan tangannya yang memegang lenganku dengan sedikit paksaan. Aku bersedekap, bersandar miring pada pintu yang masih tertutup. "Gue penasaran sih, Sa. Dengan menebar mulut manis begitu, ada berapa banyak cewek yang lo buat baper?"

Senyum di wajah Aksa seketika lenyap. Laki-laki itu menegakkan tubuhnya. Tangannya disembunyikan ke dalam celana abu-abu formalnya. Bibirnya menipis. Dilihat dari gelagatnya, aku tahu dia mulai bersikap defensif karena sindiranku berhasil menyentilnya.

"Yakin mau bahas soal baper-baperan sekarang?" timpal Aksa dengan nada datar.

Walaupun pemilihan katanya sengaja dibuat senetral mungkin, aku tahu maksud sesungguhnya dari pertanyaannya. Dan aku tidak ingin membahas mengenai patah hatiku di depan Lisa dan Adam.

"Kasian, Sa, yang jadi pacar lo," tuturku, membelokkan pembicaraan. Sesekali melirik ke pasangan suami istri yang masih berdiri di tempat dan tidak malu untuk mendengar percakapan kami. "Pasti capek kalau harus dealing dengan sikap lo yang baik sama semua cewek."

"Oh, ya?" Dia menaikkan sebelah alis tebalnya. "Untung gue nggak punya pacar."

"You had a girlfriend. Seven years ago."

"Kisah lama. Udah masuk museum."

Aku memicingkan mata. "Really?"

"Apa semua omongan kita harus selalu berarah ke apa yang terjadi tujuh tahun yang lalu?" tanya Aksa, tampak tersinggung. Dia melangkah maju sehingga aku mengambil langkah ke belakang. Ketika tidak ada lagi ruang bagiku untuk menjauh, Aksa menundukkan kepalanya. "Gue kira kita udah bisa berdamai. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now