Ch. 46: A chance to make things right

21.1K 1.7K 79
                                    

AKSA

"Aku nggak nyangka kalau kamu bakal ngomongin hal ini sama aku sekarang," celetukku setelah terdiam seperti orang bodoh sejak Luna mulai berbicara. Aku menatap lama sosok wanita yang hanya terpisah satu langkah kecil dari tempatku duduk. Kemudian, kepalaku menggeleng pelan. "Seharusnya kamu nggak minta aku kembali, Lun."

Mata Luna berkaca-kaca dengan binar kekecewaan. "Kenapa?"

"Bukan cuma kamu doang yang mikirin tentang hubungan kita, Lun," mulaiku. Aku menautkan jemari tanganku lalu membuang pandangan karena tidak tega melihat Luna ingin menangis. "Aku juga akhir-akhir ini mikirin tentang kita. Mikir kenapa aku bisa sebodoh itu buat menutupi banyak hal dari kamu dengan alasan itu yang terbaik untuk kita. Kalau emang itu keputusan terbaik untuk kita, seharusnya kita nggak berakhir begini, kan?"

Aku meringis kecil begitu mengingat keputusanku untuk mengakhiri hubungan kami beberapa minggu yang lalu.

"Setelah putus dari Amanda, teman-temanku bilang kalau aku trauma dengan kejadian itu makanya aku kesulitan buat membuka diri ke orang lain dan nggak pernah berkomiten sama siapa-siapa lagi setelahnya." Biasanya, ketika membicarakan Amanda, ada perasaan tidak nyaman yang menyusup ke dalam benakku beserta memori menyakitkan yang berusaha kulupakan. Tapi, kali ini, aku tidak merasakannya seolah hal menyakitkan itu tidak pernah terjadi. "Aku denial, selalu sembunyi di balik pekerjaan kalau ada orang yang konfrontasi aku tentang hal itu. Nyatanya, aku emang takut buat memulai hubungan lagi karena aku takut mengalami patah hati yang sama. We both know how it felt when we got cheated by our partner and how it ruined our confidence and self-worthiness. Tapi, Luna, pas aku ketemu lagi setelah bertahun-tahun lamanya, aku lupa sama rasa takut itu. Yang aku tahu, aku nggak mau—dan nggak bisa—buat melepas kamu lagi seperti tujuh tahun yang lalu. Aku nggak tahu kenapa, kemungkinan hatiku akan patah kalau hubungan ini nggak berhasil kelihatan nggak ada apa-apanya daripada harus lihat kamu mengakui cowok lain sebagai pasangan kamu. Entah kenapa setiap lihat kamu, aku lupa kalau aku punya rasa takut itu dan aku malah bayangin gimana rasanya kalau aku ada di sisi kamu sebagai pasangan kamu."

"Aku juga merasa begitu." Luna mengakui lirih. "Rasa takutku kelihatan nggak berarti dibandingkan harus melewatkan kesempatan buat bisa bersama kamu."

Aku tersenyum tipis mendengarnya. "Awalnya aku mikir menutupi kenyataan kalau aku tahu kamu putus dari Damar jauh sebelum kamu kasih tahu aku atau aku yang mengenal Damar sebagai sepupu Amanda, itu semua demi kebaikan kita—hubungan kita. Tapi, setelah aku pikir-pikir lagi, I just want to save myself from the heartbreak. Aku terlanjur menutupi itu semua dari kamu dan aku takut kamu marah kalau akhirnya kamu tahu semuanya. Kemungkinan terburuknya, kamu akan merasa dibohongi atau dikhianati lalu setelahnya kamu minta putus dan aku nggak bisa, Lun. Aku nggak bisa bayangin kamu pergi lagi dari hidupku karena kebodohanku. Makanya aku nggak pernah mau kasih tahu kamu hal itu.

"Tentang Amanda yang terus-terusan hubungi aku buat minta balikan, aku sadar itu emang kesalahanku. Aku terlalu menyepelekan hal itu. Tapi, lagi-lagi, aku berpikir bisa mengatasi semuanya dan aku nggak mau kamu merasa posisimu terancam karena Amanda datang lagi ke hidupku. Sadar atau nggak, aku yang milih buat sembunyiin hal itu di saat aku punya banyak kesempatan buat jujur ke kamu. Aku nggak mau kalau kamu semakin ragu dengan hubungan kita dan kamu memutuskan buat pergi," ujarku. Beban pikiranku seperti terangkat setengahnya setelah hal-hal yang bersemayam di kepalaku beberapa hari terakhir telah kuungkapkan. "Aku tahu aku salah karena udah tutupin hal itu dari kamu. Aku minta maaf untuk itu."

Dengan bahu yang bergetar karena sejak beberapa menit yang lalu sudah menangis, Luna bertanya. "Aku terlalu egois, ya? I keep blaming you that day."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें