Ch. 19: Can we be friends?

15K 1.8K 45
                                    

LUNA

Seharusnya aku tidak menerima ajakan makan siang Haris.

Sejak lunch beberapa hari yang lalu, pikiranku menjadi semakin kusut karena perkataan Haris yang membuatku bungkam selama sisa makan siang, berpikir kenapa aku merasa harus mendengarkan penjelasan dari Aksa mengenai masa lalu kami. Ditambah pekerjaan di kantor semakin banyak karena pengerjaan KA-ANDAL. Sedangkan Damar sama sekali tidak membantu untuk meringankan beban pikiranku karena setiap hari ada saja yang kami ributkan.

Seperti saat ini. Di mobil menuju salah satu restoran di sekitar Senopati untuk bertemu Lisa. Lagi-lagi Damar memberikan silent treatment setelah kami bertengkar karena dia terlalu lama menungguku di parkiran kantor. Lagi pula, aku tidak memintanya untuk menjemput. Dia yang bersikeras melakukannya, kenapa harus aku yang menanggung akibatnya?

"Kamu mau ikut masuk?" tanyaku dengan suara yang lebih tenang. "Lisa juga bawain oleh-oleh buat kamu."

Damar mendengus. "Nggak perlu. Aku kan, nggak diundang."

"Mau mulai lagi?" sindirku, kesal. Percuma saja waktu yang kugunakan untuk menenangkan diri kalau Damar memicu emosiku lagi. "Kalau kamu nggak mau oleh-olehnya, nanti aku sendiri yang bilang ke Lisa."

"Terus ngebiarin Lisa berpikir kalau aku ini nggak tahu terima kasih? No, thanks." Damar tersenyum meremehkan. Dari sudut matanya, dia menatapku agak tajam. "Nanti biar aku urus sendiri oleh-oleh bagianku."

"Kenapa nggak ikut aja, sih? Ada hal yang mudah di depan mata kenapa harus mempersulit diri sendiri?" omelku.

"Aku capek, Lun. Besok masih harus kerja lagi jam setengah sembilan," keluh Damar dengan nada yang tinggi. "Lagian kenapa harus ketemu di hari Senin begini, sih? Kayak nggak bisa nunggu weekend aja."

Aku menekan bibirku. Berusaha menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata kasar. "Kalau kamu mau ikut, kita pulang duluan aja. Yang penting udah datang."

"Kamu nggak paham, ya? Kalau aku bilang nggak, ya itu artinya nggak!" Damar memukul setir mobilnya dengan kesal, berhasil membuatku melonjak kaget. "Kenapa susah banget, sih, ngomong sama kamu? Nggak usah maksa!"

Aku mengalihkan pandanganku ke depan agar tidak perlu melihat wajah Damar yang memancarkan emosi. Tanganku berpegangan erat pada seatbelt sementara tubuhku membeku. Kaku. Aku bisa merasakan suhu di dalam mobil semakin mendingin.

Ini pertama kalinya aku melihat Damar semarah ini.

Sebelumnya, sebesar apapun pertengkaran kami, dia tidak akan melampiaskan emosinya melalui suatu barang. Oh, tidak. Lebih tepatnya, Damar tidak pernah membiarkan amarah mengendalikan dirinya. Dia selalu mampu mengontrol perkataan maupun perbuatannya ketika sedang marah. Sosoknya ini terlihat sangat asing di mataku, seperti bukan Damar yang selama ini kukenal.

Mendadak, ketakutan mulai menyelimutiku hingga aku nyaris kesulitan bernapas. Tanganku yang masih mencengkram seatbelt menjadi berkeringat. Yang aku inginkan saat ini hanya satu. Keluar dari mobil Damar, tapi aku tahu itu bukan keputusan yang bijak. Aku yakin Damar semakin marah jika aku berani mengutarakan niat untuk diturunkan di tengah jalan seperti ini.

Aku memutuskan untuk diam di sepanjang jalan seraya berharap mobil ini tidak terjebak begitu lama di dalam kemacetan. Lima belas menit kemudian-yang terasa seperti satu jam-mobil Damar berhenti di depan restoran italia. Seperti orang kesetanan, aku langsung melepas seatbelt dan membuka kunci pintu mobil secara manual.

"Luna, tunggu." Damar menarik pergelangan tanganku tepat sebelum pintu mobil dibuka. Selama aku meronta, meminta Damar untuk melepaskanku, semakin kuat Damar menahanku. "Luna, tolong. Dengerin aku dulu. Lun. Aku minta maaf. Aku nggak bermaksud bikin kamu takut."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang