Ch. 17: Lunch

14.9K 1.7K 18
                                    

LUNA

"Ada yang bingung soal pembahasan kick off meeting tadi?" tanya Hanifa ketika kami sedang menunggu taksi di lobi. Sebagai senior yang sudah meniti kariernya beberapa tahun di bidang ini, dia selalu memastikan kalau aku tidak mengalami kesulitan yang berarti. "Oh iya, hasil meeting tadi jangan lupa dirapihin terus dikirim ke tim by email, ya."

"Nanti gue cek ulang lagi MoM-nya," balasku. "Nggak bingung. Cuma kayaknya lebih enak kalau udah terjun langsung ke lapangan kali, ya. Gue masih belum ada bayangan jelas tentang prosesnya."

"Di perusahaan sebelumnya lo di bagian apa?"

"HSE." Kemudian, aku menjelaskan kepadanya terkait tanggung jawabku secara detail. "Tapi, beda kan, kalau udah jadi konsultan. Walaupun pembuatan AMDAL juga sering jadi pembahasan, tanggung jawab dan job desc-nya sekarang beda."

Hanifa mengibaskan tangannya. "Nggak begitu susah, kok. Gue yakin lo pasti bisa. Tapi, kalau lo masih ragu dan butuh lebih banyak pencerahan, nanti gue kasih dokumen AMDAL final proyek mereka yang lama."

"Perusahaan ini udah sering pakai jasa kita?"

"Mereka baru pakai jasa kita tahun lalu." Hanifa melirik ke sekitarnya, seolah sedang mengamati situasi, lalu sedikir berbisik kepadaku. "Denger-denger dari klien, mereka ada masalah sama konsultan yang lama. Mereka nggak bilang masalahnya apa, tapi kayaknya fatal banget. Kalau nggak, mana mungkin mereka sampai ganti konsultan?"

Aku mendelik. "Ini kita mau bergosip di lobi kantor klien banget?"

Hanifa hanya menanggapi melalui tawa renyah. Dengan tangan yang mendekap beberapa dokumen, mataku tidak lepas dari portal masuk gedung perusahaan ini, berharap taksi segera datang. Ini sudah hampir jam makan siang dan kick off meeting barusan lumayan menguras tenaga dan pikiran. Manajerku sudah pergi terlebih dahulu beberapa menit yang lalu. Mengejar lunch meeting dengan klien lain.

"Susah nunggu taksi kalau di jam-jam segini," tutur Hanifa. Sepertinya, dia sadar kalau kesabaranku semakin terkikis seiring bertambahnya waktu.

Belum sempat aku mengiyakan pernyataan Hanifa sembari mengeluarkan keluhan yang sudah bersemayam di kepala karena kelaparan, seseorang menyelanya dengan memanggil namaku. Kontan, aku memutar tubuhku, mencari sosok yang memanggil dengan begitu lantang. Mataku terbelalak begitu melihat seorang laki-laki dengan kemeja dan celana slim fit berjalan ke arahku sambil melambaikan tangannya.

"Haris?"

"Whoa." Hanifa berdecak kagum di sebelahku. Aku hanya bisa menghela napas ketika melihat Hanifa langsung mengecek penampilannya dan merapikan rambutnya. "Ganteng juga. Lo kenal? Apa jangan-jangan dia pacar lo?"

Aku menggeleng cepat. "Bukan. Dia teman." Senyumku langsung tersungging ketika Haris sudah berdiri di depanku. Aku menyapanya singkat, memperkenalkannya dengan Hanifa, lalu bertanya. "Lo kerja di sini?"

"Iya." Haris menjawab singkat. "Gue nggak nyangka bisa ketemu lo lagi setelah pernikahan Lisa. Lo sendiri ngapain di sini?"

"Abis meeting sama orang kantor lo."

"Oh, iya. Gue lupa lo sekarang pindah kantor, ya," kata Haris dan aku menyengir sebagai tanggapan. "Lo udah mau balik? Mau makan siang sama gue dulu? Waktu resepsi pernikahan Lisa kayaknya kita belum sempat ngobrol banyak."

Aku terkekeh. "Gimana gue bisa ngobrol sama orang-orang di saat gue harus menenangkan Lisa karena dia takut makanan abis dan ada tamu yang nggak kebagian."

"Ya, ya, ya." Haris ikut tertawa. "Masih nggak berubah juga ya, tugas lo buat jadi baby sitter-nya Lisa."

"Duh." Aku mengeluh lantas memutar bola mata. "It's Lisa we are talking about. My twin. Yang kayaknya nggak akan tenang kalau nggak bikin kembarannya sendiri ikut kerepotan."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang