Ch. 26: One step at a time

14.5K 1.6K 33
                                    

AKSA

"You have to eat," tegurku sambil sesekali melirik kepada ponsel yang menghubungkanku dengan Luna. Melalui sambungan video call, aku dapat melihat Luna sedang membuka bungkus tortilla chips. Aku meneleponnya lima menit yang lalu ketika dia sudah berada di apartemen. Lidahku berdecak ketika dia menggoyangkan bungkus snack-nya di depan kamera. "Makan nasi, Lun. Bukannya tadi siang lo bilang cuma makan sedikit karena ngurus kerjaan?"

"Ini baru mau pesen makan. Enaknya makan apa ya, Sa?" tanya Luna. Terdengar bunyi gemerisik di seberang sana sebelum video menampilkan layar hitam. "Masih di kantor? Lo nggak berniat buat nginep di sana, kan?"

Suara Luna yang sarat akan sindiran mengundang gelak tawaku. Aku menyapu pandangan ke sekitar working space. Hanya tersisa timku dan beberapa orang dari tim lain yang mungkin juga sedang dikejar deadline sehingga mereka masih menghuni lantai dua belas ini meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku mengembalikan perhatianku pada dokumen analisis atas penciptaan sinergi untuk merger rumah sakit yang sedang ditangani oleh timku.

"Sebentar lagi pulang," ujarku dengan suara rendah meski tak ada yang dapat mendengar ucapanku karena aku sengaja menempati meja yang agak jauh dari orang-orang agar bisa mengobrol tenang dengan Luna. "Jadinya pesen apa? Udah semalam ini pilihan makanan masih banyak emangnya? Kalau susah carinya, nanti gue mampir ke sana bawain makanan."

"Apartemen gue kan deket sama pujasera, jadi jam segini masih banyak yang jualan," sahutnya diikuti dengan suara renyah dari gigitan tortilla chips. "Lagi pula, Sa, ini udah malem banget. Besok lo masih harus kerja sedangkan sekarang masih di kantor. Kalau lo nanti mampir dulu ke apartemen gue buat bawain makanan, lo mau sampai rumah jam berapa? Mau tidur jam berapa?"

"It's not a big deal," timpalku ringan.

Keheningan yang kuterima membuatku mendongakkan kepala untuk menatap Luna lewat layar ponsel. Mataku berkedip bingung ketika wanita itu terdiam, memancarkan sorotan mata yang tidak dapat kuartikan.

"Kenapa?" tanyaku.

Luna menghela napas dengan berat. Dia menggeleng pelan lantas bergumam. "Nggak apa-apa." Namun, dari matanya yang masih belum bisa terlepas dariku, aku tahu ada hal lain yang ingin dia bicarakan. Sayangnya aku tidak bisa menebak isi hatinya sehingga aku hanya bisa bertanya-tanya di dalam hati. "Udah makan, Sa? Mau gue pesenin sekalian?"

Aku mengetukkan jari-jariku di atas meja. Luna mengalihkan pembicaraan lagi. "Gue baru aja selesai makan sebelum telepon lo," jawabku, berusaha untuk tidak memaksanya berbicara. One step at a time. "Nanti kalau makanannya udah datang langsung makan, terus tidur. Istirahat yang cukup selagi bisa."

"Iya, iya." Luna mendengus geli. "Sejak kapan lo jadi sebawel ini, Sa? Nyokap gue aja nggak separah lo." Dia tertawa singkat. "Omong-omong, lo nggak merasa terganggu karena kerja sambil teleponan begini?"

"Kalau cuma sepuluh sampai lima belas menit harusnya nggak apa-apa," celetukku. "I need to recharge my energy. Talking to you seems like an effective way to help me clear my head."

Aku menaikkan sebelah alis begitu tidak mendapatkan respons apa-apa dari Luna. Seperti dua menit yang lalu, dia hanya terdiam, membalas tatapanku lewat layar ponsel. Bibirnya terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar.

"I have to go," pamitku ketika salah satu anggota timku memanggil. "Talk to you later?"

"Not today," tolak Luna tegas. "Lo harus istirahat setelah sampai rumah."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant